Dilema Hidup
(bagi yang suka berfilsafat.
Tentang salah satu situasi batas manusia: kematian)
Setiap detik adalah penghabisan
Makin banyak, makin mendekatlah ketidakpastian itu
Akal tak mampu mendahuluinya
Semua hanya spekulasi belaka
Tak ada kepastian selain ketidakpastian itu sendiri
Takut? Ya…karena tidak tahu.
Bunga itu
Indah dalam sekilas padang
Hilang makna ditelan waktu
Ia layu, gugur, dan musnah
Anak cucuku tidak sempat menikmatinya
Bahkan mungkin saat usia tuaku
Siapa yang hilang
Siapa yang bertahan
Siapa yang nanti mengatakan bahwa ada yang hilang
Aku? Sesuatu yang lain? atau segala sesuatu selain aku
Batas yang jelas dan sadis
Ia pisahkan keutuhan kasih antara jiwa dan tubuh
Batas itu adalah detik terakhir manusia
Tubuhku semakin tua dan…pasti mati
Jiwaku semakin lama hidupnya
Ia awet tak termakan usia
Tapi punya kecemasan
Jiwaku mati? Aku tak tahu…karena aku belum mengalaminya
Berbahagialah para mayat!
Karena mereka sudah tahu
Tentang apa yang tidak dapat dipastikan oleh rumusan akal budi
Para filsuf, pencari kebijaksanaan, sekalipun…
Untuk realitas akhir ini, Tuhan sendiri pun ketakutan
Ini sebuah keraguan karena ketidakpastian
Tak ada kesempatan
Bila ingin mengetahuinya, mudah saja….
Habiskan saja nyawamu sendiri
Kerinduan akan terpenuhi, tapi…
Tak ada pintu untuk kembali
Padua, Akhir Tahun 2009
Jumat, 08 Oktober 2010
Kamis, 07 Oktober 2010
Karismatik
GERAKAN KARISMATIK DALAM GEREJA KATOLIK
oleh
Sr. Irmina Elu, PRR
Wihelmus Yornes O. Panggur, OFM
dan Bonifasius, PR
Abstrak
Dimensi pneumatologis atau gerak Roh Kudus dalam Gereja telah membuka cakrawala baru dalam penghayatan iman umat Kristiani zaman ini. Aneka bentuk pengungkapan iman adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa Roh Kudus bekerja secara istimewa dan ‘khas’. Gerakan Karismatik merupakan salah satu bentuk populer penghayatan iman umat Kristen. Roh Kudus mendapat tempat terpenting. Akan tetapi, banyak polemik di seputar gerakan ini mengharuskan Gereja Katolik, juga beberapa Gereja Reformasi, untuk menyelidiki, mengajarkan, memutuskan, mendampingi, dan membimbing jemaatnya ke jalan yang benar. Kehausan rohani jemaat modern, dengan perlahan dan pasti, dapat terpenuhi dalam Gerakan Karismatik. Sikap kritis-apostolik Gereja Katolik tetap menjadi pegangan jemaat dalam komunitas atau persekutuan doa karismatik.
Kata-kata kunci: Gerakan, Karismatik, Roh Kudus, Gereja Katolik, Gereja Reformasi, pneumatologis, pembaruan.
1. Pengantar
Jemaat Kristiani, baik Gereja Katolik maupun Gereja Reformasi, sangat percaya akan penyertaan Roh Kudus dalam kehidupan nyata mereka. Gerakan Karismatik menunjukkan karya Roh Kudus yang luhur dan perlu mendapat tempat yang utama dalam seluruh perayaan iman. Pada titik ini, Gerakan Karismatik mendapat ‘perlawanan’ dari hierarki Gereja. Penghayatan dan pengungkapan iman dalam berbagai bentuk doa karismatik akhirnya menciptakan ‘jurang’ antara ‘karisma khusus’ dengan hierarki Gereja Katolik. Tidak dapat disangkal bahwa gerakan ini dapat membawa tiga ekstrem. Gereja Katolik sebagai sebuah lembaga hierarkis-institusional harus berhadapan dengan Gerakan Karismatik dalam Gereja-Gereja Reformasi yang sangat menarik perhatian jemaat yang haus akan kebutuhan rohani. Di pihak lain, Gereja Katolik juga mendapat tantangan dari kelompok-kelompok karismatiknya sendiri yang terlalu menekankan dimensi pneumatologis dalam diri mereka. Oleh karena itu, ada tiga pertanyaan pokok, sebagai rumusan masalah, yang ingin kami soroti dalam makalah ilmiah ini, yaitu: 1) Bagaimana sejarah Gerakan Karismatik dalam Gereja Katolik dan Gereja Reformasi?; 2) Apakah Gerakan Karismatik dapat menjadi sebuah faktor dan sekaligus bentuk ‘reformasi’ dalam Gereja Katolik?; dan 3) Bagaimana sikap resmi Gereja Katolik terhadap penghayatan dan praktik Gerakan Karismatik Katolik dewasa ini?
oleh
Sr. Irmina Elu, PRR
Wihelmus Yornes O. Panggur, OFM
dan Bonifasius, PR
Abstrak
Dimensi pneumatologis atau gerak Roh Kudus dalam Gereja telah membuka cakrawala baru dalam penghayatan iman umat Kristiani zaman ini. Aneka bentuk pengungkapan iman adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa Roh Kudus bekerja secara istimewa dan ‘khas’. Gerakan Karismatik merupakan salah satu bentuk populer penghayatan iman umat Kristen. Roh Kudus mendapat tempat terpenting. Akan tetapi, banyak polemik di seputar gerakan ini mengharuskan Gereja Katolik, juga beberapa Gereja Reformasi, untuk menyelidiki, mengajarkan, memutuskan, mendampingi, dan membimbing jemaatnya ke jalan yang benar. Kehausan rohani jemaat modern, dengan perlahan dan pasti, dapat terpenuhi dalam Gerakan Karismatik. Sikap kritis-apostolik Gereja Katolik tetap menjadi pegangan jemaat dalam komunitas atau persekutuan doa karismatik.
Kata-kata kunci: Gerakan, Karismatik, Roh Kudus, Gereja Katolik, Gereja Reformasi, pneumatologis, pembaruan.
1. Pengantar
Jemaat Kristiani, baik Gereja Katolik maupun Gereja Reformasi, sangat percaya akan penyertaan Roh Kudus dalam kehidupan nyata mereka. Gerakan Karismatik menunjukkan karya Roh Kudus yang luhur dan perlu mendapat tempat yang utama dalam seluruh perayaan iman. Pada titik ini, Gerakan Karismatik mendapat ‘perlawanan’ dari hierarki Gereja. Penghayatan dan pengungkapan iman dalam berbagai bentuk doa karismatik akhirnya menciptakan ‘jurang’ antara ‘karisma khusus’ dengan hierarki Gereja Katolik. Tidak dapat disangkal bahwa gerakan ini dapat membawa tiga ekstrem. Gereja Katolik sebagai sebuah lembaga hierarkis-institusional harus berhadapan dengan Gerakan Karismatik dalam Gereja-Gereja Reformasi yang sangat menarik perhatian jemaat yang haus akan kebutuhan rohani. Di pihak lain, Gereja Katolik juga mendapat tantangan dari kelompok-kelompok karismatiknya sendiri yang terlalu menekankan dimensi pneumatologis dalam diri mereka. Oleh karena itu, ada tiga pertanyaan pokok, sebagai rumusan masalah, yang ingin kami soroti dalam makalah ilmiah ini, yaitu: 1) Bagaimana sejarah Gerakan Karismatik dalam Gereja Katolik dan Gereja Reformasi?; 2) Apakah Gerakan Karismatik dapat menjadi sebuah faktor dan sekaligus bentuk ‘reformasi’ dalam Gereja Katolik?; dan 3) Bagaimana sikap resmi Gereja Katolik terhadap penghayatan dan praktik Gerakan Karismatik Katolik dewasa ini?
Kamis, 29 Juli 2010
kuliah Teologi
Tema Ulasan: Locus Theologicus dalam sistematisasi Melchior Cano (1509—1560)
Oleh: Dr. T. Chrispurwana Cahyadi, SJ (Dosen Teologi STF Driyarkara, Jakarta)
Locus Theologicus
1. Sistematisasi Cano
Pembicaraan mengenai teologi tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan apa yang menjadi konteks, tempat atau ruang berteologi. Pertanyaan tersebut membawa kita pada persoalan mengenai locus theologicus.
Melchior Cano (1509-1560) diakui sebagai pertama dalam tradisi Katolik yang memberi secara sistematik gagasan mengenai locus theologicus dalam karyanya “De Locis theologicis”. Menurutnya daya pembuktian kebenaran teologis tidak didasarkan pada isinya atau evidensnya, namun dari sesuatu yang di luarnya, dari otoritas yang menyertainya. Untuk itu dia membedakan dua kategori sumber pengetahuan dari dirinya sendiri (proprii) dan yang mengacu atau meminjam dari pendekatan atau kajian ilmu pengetahuan lain (loci theologici alieni vel adscriptitii).
Oleh: Dr. T. Chrispurwana Cahyadi, SJ (Dosen Teologi STF Driyarkara, Jakarta)
Locus Theologicus
1. Sistematisasi Cano
Pembicaraan mengenai teologi tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan apa yang menjadi konteks, tempat atau ruang berteologi. Pertanyaan tersebut membawa kita pada persoalan mengenai locus theologicus.
Melchior Cano (1509-1560) diakui sebagai pertama dalam tradisi Katolik yang memberi secara sistematik gagasan mengenai locus theologicus dalam karyanya “De Locis theologicis”. Menurutnya daya pembuktian kebenaran teologis tidak didasarkan pada isinya atau evidensnya, namun dari sesuatu yang di luarnya, dari otoritas yang menyertainya. Untuk itu dia membedakan dua kategori sumber pengetahuan dari dirinya sendiri (proprii) dan yang mengacu atau meminjam dari pendekatan atau kajian ilmu pengetahuan lain (loci theologici alieni vel adscriptitii).
Selasa, 27 Juli 2010
sebuah sharing__OSPEK di STF Driyarkara: model yang kreatif, kritis, dan manusiawi
Masa Orientasi Pengenalan Kampus STF Driyarkara
Selasa-Jumat, 11-14 Agustus 2009
Sdr. Yornes Panggur, OFM
Suatu keindahan dan kebahagiaan tersendiri bagi saya dan pasti bagi saudara seangkatan saya yang lain, yakni: diutus untuk belajar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Banyak hal terbayang dalam pikiran saya tentang menjadi seorang mahasiswa, suatu status pekerjaan yang kata orang muda lumayan bergengsi atau berkelas. Namun, sebelum menjadi seorang mahasiswa yang penuh, sebagai mahasiswa baru saya harus melewati satu masa orientasi khusus yang dalam dunia perkuliahan biasa disebut Orientasi Pengenakan Kampus (Ospek). Menurut cerita beberapa teman dan kakak saya, masa ini mirip-mirip kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) untuk siswa yang baru masuk SMA. Spontan saja pikiran saya langsung tertuju pada kekerasan atau lebih tepatnya pada sangsi fisik dan mental yang diberikan kepada saya oleh kakak-kakak tingkat saya nanti.
Selasa-Jumat, 11-14 Agustus 2009
Sdr. Yornes Panggur, OFM
Suatu keindahan dan kebahagiaan tersendiri bagi saya dan pasti bagi saudara seangkatan saya yang lain, yakni: diutus untuk belajar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Banyak hal terbayang dalam pikiran saya tentang menjadi seorang mahasiswa, suatu status pekerjaan yang kata orang muda lumayan bergengsi atau berkelas. Namun, sebelum menjadi seorang mahasiswa yang penuh, sebagai mahasiswa baru saya harus melewati satu masa orientasi khusus yang dalam dunia perkuliahan biasa disebut Orientasi Pengenakan Kampus (Ospek). Menurut cerita beberapa teman dan kakak saya, masa ini mirip-mirip kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) untuk siswa yang baru masuk SMA. Spontan saja pikiran saya langsung tertuju pada kekerasan atau lebih tepatnya pada sangsi fisik dan mental yang diberikan kepada saya oleh kakak-kakak tingkat saya nanti.
Filsafat Phytagoras
FILSAFAT PYTHAGORAS
(IMORTALITAS JIWA DAN NUMERIOLOGI SEMESTA)
1. Pengantar
Sejak awal mula, manusia selalu bertanya tentang asal muasal kehidupannya. Para pemikir kuno (phusikoi) yang diwakili oleh para pemikir prasokratik telah berusaha untuk menemukan apa sebenarnya substansi pertama yang menjadi asal segala sesuatu di alam semesta ini. Substansi ini oleh para ‘filsuf’ prasokratik dinamakan sebagai phusis . Banyak filsuf menuangkan gagasan serta argumennya masing-masing tentang phusis yang mereka ajukan untuk menjawab misteri asal-usul semesta ini.
Salah seorang filsuf besar prasokratik yang juga berusaha menyatakan substansi alam semesta ini adalah Pythagoras. Meskipun tidak ada peninggalan sumber tertulis, ajaran Pythagoras sangat mempengaruhi dunia filsafat barat dan dunia pada umumnya. Bahkan nama Pythagoras sendiri sudah sangat dikenal oleh semua orang khususnya bagi yang pernah belajar ilmu matematika. Sumber-sumber mengenai ajaran beliau banyak diceritakan oleh filsuf-filsuf di kemudian hari. Secara umum, Pythagoras mengemukakan ajaran tentang imortalitas jiwa dan numeriologi semesta.
(IMORTALITAS JIWA DAN NUMERIOLOGI SEMESTA)
1. Pengantar
Sejak awal mula, manusia selalu bertanya tentang asal muasal kehidupannya. Para pemikir kuno (phusikoi) yang diwakili oleh para pemikir prasokratik telah berusaha untuk menemukan apa sebenarnya substansi pertama yang menjadi asal segala sesuatu di alam semesta ini. Substansi ini oleh para ‘filsuf’ prasokratik dinamakan sebagai phusis . Banyak filsuf menuangkan gagasan serta argumennya masing-masing tentang phusis yang mereka ajukan untuk menjawab misteri asal-usul semesta ini.
Salah seorang filsuf besar prasokratik yang juga berusaha menyatakan substansi alam semesta ini adalah Pythagoras. Meskipun tidak ada peninggalan sumber tertulis, ajaran Pythagoras sangat mempengaruhi dunia filsafat barat dan dunia pada umumnya. Bahkan nama Pythagoras sendiri sudah sangat dikenal oleh semua orang khususnya bagi yang pernah belajar ilmu matematika. Sumber-sumber mengenai ajaran beliau banyak diceritakan oleh filsuf-filsuf di kemudian hari. Secara umum, Pythagoras mengemukakan ajaran tentang imortalitas jiwa dan numeriologi semesta.
Analisis Kepribadian Chun Tae-il
Menurut Teori Psikoanalisis Sosial Erich Fromm (1900 - 1980)
1. Pengantar
Seorang buruh Korea akan menyebut nama Chun Tae-il (1948—1970) dengan penuh hormat bila ditanya: siapa orang yang paling berpengaruh dalam hidupmu? Chun Tae-il lahir pada 26 Agustus 1948 dalam keluarga miskin dan bertumbuh-kembang dalam masyarakat yang serba kurang. Penderitaan, kelaparan, penyakit, penindasan majikan, gubuk-gubuk reyot, dan wajah penuh peluh adalah fenomena yang tampak biasa pada orang-orang yang hidup di sekitar dirinya. Ibunya, Yi Sho-sun, adalah sosok seorang wanita pejuang dan gigih mencari cara untuk bertahan hidup. Sang Ibu menjadi pengemis, pengantar barang, tukang cuci, dan sebagainya untuk sekadar memberi makan keenam anaknya. Ayah Tae-il, Chun Sang-soo, adalah seroang tukang jahit pabrik garmen yang hilang asa setelah di-PHK. Kebiasaannya yang buruk yakni akrab dengan minuman keras beralkhohol berdampak buruk pula pada kelangsungan hidup keluarga dan, tentu saja, dengan perkembangan Tae-il kecil. Menjelang dewasa, Tae-il menjadi sosok pribadi yang tegas, memiliki utopia yang tinggi untuk mengubah situasi penderitaan sesama di sekitarnya, khusunya para buruh.
Dalam telaah psikoanalisis sosial Erick Fromm (1900 - 1980), Tae-il adalah pribadi yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa kecil dan ketidaladilan sosial di zamannya. Self-awareness mempengaruhi setiap perjuangannya. Penderitaan para buruh yang disaksikannya selalu menggugah hatinya. Ia selalu mengingat penderitaan di masa lalunya. Dalam benaknya, ia yakin bahwa para buruh yang tertindas itu mampu memvisualisasikan masa depan, sebagaimana dialaminya. Masa depan, yakni kadamaian dan keadilan, merupakan hak-bebas yang dimiliki setiap manusia. Dalam bahasa Fromm, manusia harus mengembangkan potensi dirinya karena memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan. Akan tetapi, ketidakpaduan dalam tubuh para buruh sendiri mengarahkan Tae-il dan perjuangannya kepada potensi keterasingan (alienasi). Tae-il terus berjuang bersama kelompok kecilnya melawan ketidakpedulian negara dan para majikan. Akhirnya, bertolak dari analisis Fromm, saya menyimpulkan bahwa self-realization yang terbatas oleh usia (human dicotomy) dan ketidakterpenuhan 5 kebutuhan eksistensial manusia telah mempengaruhi keputusan akhir Tae-il terhadap hidup dan perjuangannya. Pada 13 November 1970, Chun Tae-il membakar diri saat demostrasi sambil berteriak: ”Patuhi Undang-Undang Perburuhan! Kami bukan mesin!” Akhir yang sangat mengenaskan utnuk pemuda 22 tahun.
Menurut Teori Psikoanalisis Sosial Erich Fromm (1900 - 1980)
1. Pengantar
Seorang buruh Korea akan menyebut nama Chun Tae-il (1948—1970) dengan penuh hormat bila ditanya: siapa orang yang paling berpengaruh dalam hidupmu? Chun Tae-il lahir pada 26 Agustus 1948 dalam keluarga miskin dan bertumbuh-kembang dalam masyarakat yang serba kurang. Penderitaan, kelaparan, penyakit, penindasan majikan, gubuk-gubuk reyot, dan wajah penuh peluh adalah fenomena yang tampak biasa pada orang-orang yang hidup di sekitar dirinya. Ibunya, Yi Sho-sun, adalah sosok seorang wanita pejuang dan gigih mencari cara untuk bertahan hidup. Sang Ibu menjadi pengemis, pengantar barang, tukang cuci, dan sebagainya untuk sekadar memberi makan keenam anaknya. Ayah Tae-il, Chun Sang-soo, adalah seroang tukang jahit pabrik garmen yang hilang asa setelah di-PHK. Kebiasaannya yang buruk yakni akrab dengan minuman keras beralkhohol berdampak buruk pula pada kelangsungan hidup keluarga dan, tentu saja, dengan perkembangan Tae-il kecil. Menjelang dewasa, Tae-il menjadi sosok pribadi yang tegas, memiliki utopia yang tinggi untuk mengubah situasi penderitaan sesama di sekitarnya, khusunya para buruh.
Dalam telaah psikoanalisis sosial Erick Fromm (1900 - 1980), Tae-il adalah pribadi yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa kecil dan ketidaladilan sosial di zamannya. Self-awareness mempengaruhi setiap perjuangannya. Penderitaan para buruh yang disaksikannya selalu menggugah hatinya. Ia selalu mengingat penderitaan di masa lalunya. Dalam benaknya, ia yakin bahwa para buruh yang tertindas itu mampu memvisualisasikan masa depan, sebagaimana dialaminya. Masa depan, yakni kadamaian dan keadilan, merupakan hak-bebas yang dimiliki setiap manusia. Dalam bahasa Fromm, manusia harus mengembangkan potensi dirinya karena memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan. Akan tetapi, ketidakpaduan dalam tubuh para buruh sendiri mengarahkan Tae-il dan perjuangannya kepada potensi keterasingan (alienasi). Tae-il terus berjuang bersama kelompok kecilnya melawan ketidakpedulian negara dan para majikan. Akhirnya, bertolak dari analisis Fromm, saya menyimpulkan bahwa self-realization yang terbatas oleh usia (human dicotomy) dan ketidakterpenuhan 5 kebutuhan eksistensial manusia telah mempengaruhi keputusan akhir Tae-il terhadap hidup dan perjuangannya. Pada 13 November 1970, Chun Tae-il membakar diri saat demostrasi sambil berteriak: ”Patuhi Undang-Undang Perburuhan! Kami bukan mesin!” Akhir yang sangat mengenaskan utnuk pemuda 22 tahun.
Langganan:
Postingan (Atom)