Masa Orientasi Pengenalan Kampus STF Driyarkara
Selasa-Jumat, 11-14 Agustus 2009
Sdr. Yornes Panggur, OFM
Suatu keindahan dan kebahagiaan tersendiri bagi saya dan pasti bagi saudara seangkatan saya yang lain, yakni: diutus untuk belajar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Banyak hal terbayang dalam pikiran saya tentang menjadi seorang mahasiswa, suatu status pekerjaan yang kata orang muda lumayan bergengsi atau berkelas. Namun, sebelum menjadi seorang mahasiswa yang penuh, sebagai mahasiswa baru saya harus melewati satu masa orientasi khusus yang dalam dunia perkuliahan biasa disebut Orientasi Pengenakan Kampus (Ospek). Menurut cerita beberapa teman dan kakak saya, masa ini mirip-mirip kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) untuk siswa yang baru masuk SMA. Spontan saja pikiran saya langsung tertuju pada kekerasan atau lebih tepatnya pada sangsi fisik dan mental yang diberikan kepada saya oleh kakak-kakak tingkat saya nanti.
Metode Kekerasan Dalam Ospek : Belajar dari Pengalaman
Bila para saudara menemukan atau mendengar singkatan IPDN atau STPDN, mungkin yang pertama-tama terlintas adalah kisah tragis sekaligus memalukan saat beberapa mahasiswa senior melakukan tindak kekerasan terhadap yang beberapa mahasiswa junior beberapa tahun yang lalu. Dengan alasan pembinaan yang khas STPDN atau IPDN, para mahasiswa senior menghalalkan segala metode, termasuk sangsi atau hukuman sesuka hati. Tidak tanggung-tanggung, nyawa manusia pun menjadi korban. Salah seorang mahasiswanya pun harus ‘tamat’ kepagian, bukan masa belajarnya melainkan hidupnya. Bukan hanya kampus atau sekolah yang merasakan dampaknya, melainkan seluruh kegiatan yang berbau pembinaan oleh para senior kepada para junior dalam lingkungan kampus. Di pihak lain, kita juga dapat merefleksikan sendiri masa depan pemerintahan kita dengan latar belakang pendidikan yang demikian..
Terlepas dari kisah tragedi kekerasan (tepatnya: penganiayaan) di lingkungan IPDN di atas, Sdr. Andry juga pernah mensharingkan kepada saya tentang pengalamannya saat Ospek di ITS Surabaya dulu. Ya...seperti biasa, sangsi fisik dan mental juga menjadi pengalaman penting dan menerik baginya. Baginya, kekerasan dalam Ospek malah akan membawa hal-hal negatif baru dalam perjalanan kuliah nantinya. Relasi antar tingkat bahkan antar teman seangkatan sendiri mungkin akan renggang. Rasa dendam pribadi juga turut menjadikan metode kekerasan sebagai ciri khas Ospek. Akhirnya, sevbelum saya merasakan dan mengalami Ospek, yang ada adalah perasaan takut dan cemas serta pasrah.
Bina Keluarga : Orientasi Pengenalan Kampus ala STF Driyarkara
Absen di hari pertama ternyata tidak menyurutkan semangat kami para fransiskan muda ini untuk mengikuti rangkaian acara Bina Keluarga di kampus STF Driyarkara hari kedua. Tepat pukul 08.00 WIB, semua mahasiswa baru berkumpul di ruang kuliah 1. Kami dipersilahkan duduk di lantai keramik yang dingin lantaran ruangannya yang ber-AC, sedangkan kakak-kakak tingkat yang mendampingi BK duduk di kursi. Lalu kami dibagi dalam 6 kelompok yang masing-masing beranggotakan 6-7 orang. Aduh, mati sudah! Jangan-jangan kalau kerja kelompok gagal, bakalan kena ‘tumbuk’ dari kakak tingkat, pikirku dalam hati. Setelah masuk ke dalam kelompok masing-nasing, kami diberi kertas ukuran gede dengan satu spidol snowman. Tugasnya sederhana saja, yakni masing-masing kelompok mengambar denah tempat-tempat penting di lingkungan kampus seperti ruangan dosen, ruangan kuliah, toilet, bahkan kelompok saya harus mencari dan mengambar denah tempat-tempat nongkrong bagi mahasiswa. Wah, kalau yang ini mah gampang, kataku dalam hati. Selain tugas menggambar denah, masing-masing kelompok juga harus pergi mencari informasi tentang jeladri, intro, sophia choirs, tera, Komunitas Marlx, dan istilah-istilah lainnya yang tentu saja sangat asing di telinga kami. Dengan segala ketidaktahuan, semua pun sibuk bergerak dan berdiskusi dalam kelompoknya. Kedua tugas ini, menggambar denah dan mencari informasi, menggunakan metode pengamatan lapangan dan wawancara. Semua hasil kerja kelompok, baik denah maupun informasi istilah, akhirnya dipresentasikan dalam pleno.
Pukul 11.30 WIB, semua peserta sudah berkumpul di ruangan kuliah untuk ‘nonton bareng’ film bertemakan kemiskinan di Indonesia. Kali ini kami hanya dibagi ke dalam tiga kelompok besar : buruh, pengusaha, dan pemerintah. Film dokumenter karya John Shilper ini menyajikan banyak hal yang membuat kami harus berpikir kritis untuk menemukan gagasan inti sekaligus mencari argumen untuk diperdebatkan dalam session diskusi.
Di hari ketiga, kamis 13 Agustus 2009, acara BK dilanjutkan dengan tiga agenda utama, yakni: terjun ke tengah masyarakat sekitar kampus (Rawasari) untuk mencari informasi tentang tema yang akan diberikan, kerja bakti di kampus, dan olah raga. Untuk agenda pertama, semua peserta BK pergi mewawancara masyarakat sekitar dan mencari sebanyak mungkin informasi apa saja yang berkaitan dengan tema Tema yang diberikan pun berbeda-beda untuk tiap-tiap kelompok, misalnya tema KPK dan Pilpres 2009, Transjakarta, dan lain sebagainya. Waktu yang diperlukan adalah satu jam, pukul 08.30-09.30 WIB. Setelah semua nya selesai, semua peserta kembali ke dalam kelompok masimg-masing lalu berbagi informasi, berdiskusi, membuat kesimpulan hasil wawancara, dan akhirnya mempresentasikan hasil kerja kelompok masing-masing.
Setelah break sebentar, acara dilanjutkan dengan agenda kedua yakni kerja bakti. Masih dalam kelompok masing-masing, semua peserta dengan alat kerja seadanya yang dibawa dari komunitas masing-masing terjun ke pos-pos yang sudah ditentukan. Pukul 11.00-12.00 WIB, semua peserta yang mayoritas cowok ( dan hanya menyisakan 1 orang suster PRR) ini larut dalam suasana kerja bakti. Sehabis kerja bakti, setiap kelompok diberi kesempatan utnuk menyiapkan acara kreatif berupa drama, puisi, nyanyian, dan sebagainya utnk acara esok harinya, hari kesenian. Pukul 13.00 semua berkumpul untuk makan siang sekaligus mempersiapkan diri untuk menjalankan agenda ketiga yakni olah raga. Adapun olah raga yang diperlombakan adalah lari kelereng, lari karung, lomba minum teh botol, lomba balap sepeda yang paling lambat (yang juara adalah yang paling akhir mencapai finish), dan lomba talik tambang. Dari semua game yang diperlombakan, saya sendiri (mewakili kelompok 1) berhasil meraih juara satu di cabang lari karung. Setealah semua agenda hari ketiga selesai, pukul 15.00 WIB semua peserta pulang ke rumah masing-masing.
Pada hari keempat sekaligus hari terakhir kegiatan BK, Jumat 14 Agustus 2009, semua peserta diperkenalkan dengan aneka macam hal seputar kesenian kampus STF Driyarkara. Acara diawali dengan sebuah teater yang dibawakan oleh kakak-kakak kelompok ‘Tera’ (Teater Driyarkara). Sehabis pertunjukan teater itu, waktu selebihnya diberikan kepada semua peserta BK untuk menampilkan kreatifitas masing-masing kelompok dalam drama, puisi, atau nyanyian. Berbagai macam ekspresi dan gaya dari tiap kelompok memaksa peserta lainya harus memegang perut menahan tawa. Apalagi saat menyaksikan teman-teman Jesuit asal Nyanmar dan Thailand yang bahasa Indonesianya masing jatuh bangun ‘dipaksa’ untuk berekspresi. Belum lagi Sdr. Berto yang full confidence menyanyikan lagu kesukaannya, ‘tak gendong’-nya Mbah Surip, dan sekaligus bersama Sdr. Berman, ia membuat kelompoknya sebagai yang paling error dan paling heboh. Betapa tidak, lagu berirama 4/4 digubah menjadi 2,5/4 alias irama suka-suka. “Inikan kreatif, iya to!!??” komentar Sdr. Berto dan dengan terpaksa diamini saja oleh Sdr. Berman. Setelah semua kelompok sudah menampilkan acaranya, Koordinator Kesenian STF Driyarkara, Sdr. Roland Jemuru, memperkenalkan segala sesuatu berkaitan dengan dunia kesenian di STF. “Yang berminat silahkan bergabung! Ini kampus kita dan rumah kita!” ajak Sdr. Roland diakhir acara. Seluruh rangkaian acara ditutup dengan menyanyikan Mars STF dan lagu Rumah Kita sambil berpegangan tangan.
Belajar Dari Metode Bina Keluarga STF Driyarkara
Pengalaman selama mengikuti Ospek atau Bina Keluarga selama 3 dari 4 hari yang dijadwalkan sangat berkesan bagi saya secara pribadi. Betapa tidak, dari aneka macam agenda kegiatan dan acara yang ada, kami dapat menangkap apa dan bagaimana orientasi pendidikan STF Driyarkara serta sasaran Ospek itu sendiri. Orientasi pendidikan STF Driyarkara (yang juga meringkas visi dan misinya) adalah menjadi sebuah komunitas akademik yang mencerahkan budi, mengasah nurani, dan menggerakan aksi demi terwujudnya kondisis manusia dan tata dunia yang lebih sehat. Demi mendarahdagingkan arah dan tujuan tersebut, setiap mahasiswa perlu menjadi bagian yang utuh dari STF, Oleh karena itu, bina keluarga menjadi satu cara yang handal dan kuat demi mencapai tujuan bersama itu.
Dari seluruh tangkaian acara BK, saya sedikitnya dapat menarik beberapa kesimpulan. Pertama, sasaran BK adalah agar seluruh mahasiswa baru dapat mengenal kampusnya baik secara fisik maupun visi serta misinya. Tugas membuat denah hanyalah sarana sederhana agar para mahasiswa dapat mengenal lingkungan kampusnya. Mungkin setelah mendalami hal ini, Sdr. Berman dapat dengan merdu dan lantang menyanyikan lagu ‘Rumah Kita’ dan mars STF tanpa teks! (ya…biar nggak terganggu oleh not-not bergaris dalam teks…). Kedua, metode-metode yang digunakan dalam BK sangat praktis dan sederhana namun tepat sasaran. Penelitian lapangan, wawancara di tengah mayarakat, diskusi film, presentasi hasil diskusi, kerja bakti, olah raga, dan kesenian adalah kegiatan harian kampus yang disederhanakan dan langsung diperkenalkan dalan BK STF Driyarkakra. Ketiga, Bina Keluarga tidak mengenal kekerasan, oleh senior kepada junior. Sangsi fisik maupun mental yang dulunya (mungkin sampai sekarang) menjadi ciri khas kegiatan Ospek atau MOS tidak terjadi dalam BK STF Driyarkara. Saya merasakan bahwa metode BK ala STF Driyarkara adalah yang paling berkesan dan berkualitas, minimal kami dapat mengerti apa dan bagaimana orientasi belajar kita di sekolah ini. Keempat, relasi antar mahasiswa adalah relasi kekeluargaan. Latar belakang para mahasiswa baik yang awam maupun religius, baik senior maupun junior, dicairkan sehingga yang ada adalah sesama saudara. Puisi Politik berbahasa Manggarai goresan Sdr. Safry berhasil membuat para saudara Jesuit asal Thailand dan Nyanmar khusyuk mendengar dan merenung betapa bobroknya negara Indonesia ini (hah!!!…yang benar sa!). Menurut Sdr. Py, SJ yang asli Thailand, Bahasa Manggarai mirip-mirip Bahasa Mandarin so mereka sedikit dapat mengerti (cukagarrra…!!).
Penutup: Welcome To Your Home
Pengalaman Ospek ala STF Driyarkara telah mengubah segalanya, terutama pandangan saya sendiri tentang metode-metode kekerasan dalam Ospek. Tanpa sangsi fisik atau mental, apa yang menjadi sasaran Ospek ternyata lebih mengendap dalam diri tiap-tiap mahasiswa. Masalah perbedaan kelas atau tingkat dalam jenjang kuliah bukan hal yang bukan hal yang mudah. Namun, itu bukan berarti harus menggunakan cara yang tidak manusiawi. Pengalaman Ospek serta segala metode di STF Driyarkara kiranya dapak menjadi pelajaran bagi kita semua. Tugas utama kita (kami) sekarang adalah bagaimana kami menjadikan semua mahasiswa lain sebagai saudara. Lingkungan kampus adalah tempat yang pas untuk memberikan kesaksian cara hidup Fransiskan. Akhirnya, kami sebagai saudara yang baru diutus membutuhkan dukungan dari persaudaran, khususnya dari saudara-saudara sekampus, agar kami mempu menciptakan suasana home di tempat belajar kami yang baru. ***
Selasa-Jumat, 11-14 Agustus 2009
Sdr. Yornes Panggur, OFM
Suatu keindahan dan kebahagiaan tersendiri bagi saya dan pasti bagi saudara seangkatan saya yang lain, yakni: diutus untuk belajar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Banyak hal terbayang dalam pikiran saya tentang menjadi seorang mahasiswa, suatu status pekerjaan yang kata orang muda lumayan bergengsi atau berkelas. Namun, sebelum menjadi seorang mahasiswa yang penuh, sebagai mahasiswa baru saya harus melewati satu masa orientasi khusus yang dalam dunia perkuliahan biasa disebut Orientasi Pengenakan Kampus (Ospek). Menurut cerita beberapa teman dan kakak saya, masa ini mirip-mirip kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) untuk siswa yang baru masuk SMA. Spontan saja pikiran saya langsung tertuju pada kekerasan atau lebih tepatnya pada sangsi fisik dan mental yang diberikan kepada saya oleh kakak-kakak tingkat saya nanti.
Metode Kekerasan Dalam Ospek : Belajar dari Pengalaman
Bila para saudara menemukan atau mendengar singkatan IPDN atau STPDN, mungkin yang pertama-tama terlintas adalah kisah tragis sekaligus memalukan saat beberapa mahasiswa senior melakukan tindak kekerasan terhadap yang beberapa mahasiswa junior beberapa tahun yang lalu. Dengan alasan pembinaan yang khas STPDN atau IPDN, para mahasiswa senior menghalalkan segala metode, termasuk sangsi atau hukuman sesuka hati. Tidak tanggung-tanggung, nyawa manusia pun menjadi korban. Salah seorang mahasiswanya pun harus ‘tamat’ kepagian, bukan masa belajarnya melainkan hidupnya. Bukan hanya kampus atau sekolah yang merasakan dampaknya, melainkan seluruh kegiatan yang berbau pembinaan oleh para senior kepada para junior dalam lingkungan kampus. Di pihak lain, kita juga dapat merefleksikan sendiri masa depan pemerintahan kita dengan latar belakang pendidikan yang demikian..
Terlepas dari kisah tragedi kekerasan (tepatnya: penganiayaan) di lingkungan IPDN di atas, Sdr. Andry juga pernah mensharingkan kepada saya tentang pengalamannya saat Ospek di ITS Surabaya dulu. Ya...seperti biasa, sangsi fisik dan mental juga menjadi pengalaman penting dan menerik baginya. Baginya, kekerasan dalam Ospek malah akan membawa hal-hal negatif baru dalam perjalanan kuliah nantinya. Relasi antar tingkat bahkan antar teman seangkatan sendiri mungkin akan renggang. Rasa dendam pribadi juga turut menjadikan metode kekerasan sebagai ciri khas Ospek. Akhirnya, sevbelum saya merasakan dan mengalami Ospek, yang ada adalah perasaan takut dan cemas serta pasrah.
Bina Keluarga : Orientasi Pengenalan Kampus ala STF Driyarkara
Absen di hari pertama ternyata tidak menyurutkan semangat kami para fransiskan muda ini untuk mengikuti rangkaian acara Bina Keluarga di kampus STF Driyarkara hari kedua. Tepat pukul 08.00 WIB, semua mahasiswa baru berkumpul di ruang kuliah 1. Kami dipersilahkan duduk di lantai keramik yang dingin lantaran ruangannya yang ber-AC, sedangkan kakak-kakak tingkat yang mendampingi BK duduk di kursi. Lalu kami dibagi dalam 6 kelompok yang masing-masing beranggotakan 6-7 orang. Aduh, mati sudah! Jangan-jangan kalau kerja kelompok gagal, bakalan kena ‘tumbuk’ dari kakak tingkat, pikirku dalam hati. Setelah masuk ke dalam kelompok masing-nasing, kami diberi kertas ukuran gede dengan satu spidol snowman. Tugasnya sederhana saja, yakni masing-masing kelompok mengambar denah tempat-tempat penting di lingkungan kampus seperti ruangan dosen, ruangan kuliah, toilet, bahkan kelompok saya harus mencari dan mengambar denah tempat-tempat nongkrong bagi mahasiswa. Wah, kalau yang ini mah gampang, kataku dalam hati. Selain tugas menggambar denah, masing-masing kelompok juga harus pergi mencari informasi tentang jeladri, intro, sophia choirs, tera, Komunitas Marlx, dan istilah-istilah lainnya yang tentu saja sangat asing di telinga kami. Dengan segala ketidaktahuan, semua pun sibuk bergerak dan berdiskusi dalam kelompoknya. Kedua tugas ini, menggambar denah dan mencari informasi, menggunakan metode pengamatan lapangan dan wawancara. Semua hasil kerja kelompok, baik denah maupun informasi istilah, akhirnya dipresentasikan dalam pleno.
Pukul 11.30 WIB, semua peserta sudah berkumpul di ruangan kuliah untuk ‘nonton bareng’ film bertemakan kemiskinan di Indonesia. Kali ini kami hanya dibagi ke dalam tiga kelompok besar : buruh, pengusaha, dan pemerintah. Film dokumenter karya John Shilper ini menyajikan banyak hal yang membuat kami harus berpikir kritis untuk menemukan gagasan inti sekaligus mencari argumen untuk diperdebatkan dalam session diskusi.
Di hari ketiga, kamis 13 Agustus 2009, acara BK dilanjutkan dengan tiga agenda utama, yakni: terjun ke tengah masyarakat sekitar kampus (Rawasari) untuk mencari informasi tentang tema yang akan diberikan, kerja bakti di kampus, dan olah raga. Untuk agenda pertama, semua peserta BK pergi mewawancara masyarakat sekitar dan mencari sebanyak mungkin informasi apa saja yang berkaitan dengan tema Tema yang diberikan pun berbeda-beda untuk tiap-tiap kelompok, misalnya tema KPK dan Pilpres 2009, Transjakarta, dan lain sebagainya. Waktu yang diperlukan adalah satu jam, pukul 08.30-09.30 WIB. Setelah semua nya selesai, semua peserta kembali ke dalam kelompok masimg-masing lalu berbagi informasi, berdiskusi, membuat kesimpulan hasil wawancara, dan akhirnya mempresentasikan hasil kerja kelompok masing-masing.
Setelah break sebentar, acara dilanjutkan dengan agenda kedua yakni kerja bakti. Masih dalam kelompok masing-masing, semua peserta dengan alat kerja seadanya yang dibawa dari komunitas masing-masing terjun ke pos-pos yang sudah ditentukan. Pukul 11.00-12.00 WIB, semua peserta yang mayoritas cowok ( dan hanya menyisakan 1 orang suster PRR) ini larut dalam suasana kerja bakti. Sehabis kerja bakti, setiap kelompok diberi kesempatan utnuk menyiapkan acara kreatif berupa drama, puisi, nyanyian, dan sebagainya utnk acara esok harinya, hari kesenian. Pukul 13.00 semua berkumpul untuk makan siang sekaligus mempersiapkan diri untuk menjalankan agenda ketiga yakni olah raga. Adapun olah raga yang diperlombakan adalah lari kelereng, lari karung, lomba minum teh botol, lomba balap sepeda yang paling lambat (yang juara adalah yang paling akhir mencapai finish), dan lomba talik tambang. Dari semua game yang diperlombakan, saya sendiri (mewakili kelompok 1) berhasil meraih juara satu di cabang lari karung. Setealah semua agenda hari ketiga selesai, pukul 15.00 WIB semua peserta pulang ke rumah masing-masing.
Pada hari keempat sekaligus hari terakhir kegiatan BK, Jumat 14 Agustus 2009, semua peserta diperkenalkan dengan aneka macam hal seputar kesenian kampus STF Driyarkara. Acara diawali dengan sebuah teater yang dibawakan oleh kakak-kakak kelompok ‘Tera’ (Teater Driyarkara). Sehabis pertunjukan teater itu, waktu selebihnya diberikan kepada semua peserta BK untuk menampilkan kreatifitas masing-masing kelompok dalam drama, puisi, atau nyanyian. Berbagai macam ekspresi dan gaya dari tiap kelompok memaksa peserta lainya harus memegang perut menahan tawa. Apalagi saat menyaksikan teman-teman Jesuit asal Nyanmar dan Thailand yang bahasa Indonesianya masing jatuh bangun ‘dipaksa’ untuk berekspresi. Belum lagi Sdr. Berto yang full confidence menyanyikan lagu kesukaannya, ‘tak gendong’-nya Mbah Surip, dan sekaligus bersama Sdr. Berman, ia membuat kelompoknya sebagai yang paling error dan paling heboh. Betapa tidak, lagu berirama 4/4 digubah menjadi 2,5/4 alias irama suka-suka. “Inikan kreatif, iya to!!??” komentar Sdr. Berto dan dengan terpaksa diamini saja oleh Sdr. Berman. Setelah semua kelompok sudah menampilkan acaranya, Koordinator Kesenian STF Driyarkara, Sdr. Roland Jemuru, memperkenalkan segala sesuatu berkaitan dengan dunia kesenian di STF. “Yang berminat silahkan bergabung! Ini kampus kita dan rumah kita!” ajak Sdr. Roland diakhir acara. Seluruh rangkaian acara ditutup dengan menyanyikan Mars STF dan lagu Rumah Kita sambil berpegangan tangan.
Belajar Dari Metode Bina Keluarga STF Driyarkara
Pengalaman selama mengikuti Ospek atau Bina Keluarga selama 3 dari 4 hari yang dijadwalkan sangat berkesan bagi saya secara pribadi. Betapa tidak, dari aneka macam agenda kegiatan dan acara yang ada, kami dapat menangkap apa dan bagaimana orientasi pendidikan STF Driyarkara serta sasaran Ospek itu sendiri. Orientasi pendidikan STF Driyarkara (yang juga meringkas visi dan misinya) adalah menjadi sebuah komunitas akademik yang mencerahkan budi, mengasah nurani, dan menggerakan aksi demi terwujudnya kondisis manusia dan tata dunia yang lebih sehat. Demi mendarahdagingkan arah dan tujuan tersebut, setiap mahasiswa perlu menjadi bagian yang utuh dari STF, Oleh karena itu, bina keluarga menjadi satu cara yang handal dan kuat demi mencapai tujuan bersama itu.
Dari seluruh tangkaian acara BK, saya sedikitnya dapat menarik beberapa kesimpulan. Pertama, sasaran BK adalah agar seluruh mahasiswa baru dapat mengenal kampusnya baik secara fisik maupun visi serta misinya. Tugas membuat denah hanyalah sarana sederhana agar para mahasiswa dapat mengenal lingkungan kampusnya. Mungkin setelah mendalami hal ini, Sdr. Berman dapat dengan merdu dan lantang menyanyikan lagu ‘Rumah Kita’ dan mars STF tanpa teks! (ya…biar nggak terganggu oleh not-not bergaris dalam teks…). Kedua, metode-metode yang digunakan dalam BK sangat praktis dan sederhana namun tepat sasaran. Penelitian lapangan, wawancara di tengah mayarakat, diskusi film, presentasi hasil diskusi, kerja bakti, olah raga, dan kesenian adalah kegiatan harian kampus yang disederhanakan dan langsung diperkenalkan dalan BK STF Driyarkakra. Ketiga, Bina Keluarga tidak mengenal kekerasan, oleh senior kepada junior. Sangsi fisik maupun mental yang dulunya (mungkin sampai sekarang) menjadi ciri khas kegiatan Ospek atau MOS tidak terjadi dalam BK STF Driyarkara. Saya merasakan bahwa metode BK ala STF Driyarkara adalah yang paling berkesan dan berkualitas, minimal kami dapat mengerti apa dan bagaimana orientasi belajar kita di sekolah ini. Keempat, relasi antar mahasiswa adalah relasi kekeluargaan. Latar belakang para mahasiswa baik yang awam maupun religius, baik senior maupun junior, dicairkan sehingga yang ada adalah sesama saudara. Puisi Politik berbahasa Manggarai goresan Sdr. Safry berhasil membuat para saudara Jesuit asal Thailand dan Nyanmar khusyuk mendengar dan merenung betapa bobroknya negara Indonesia ini (hah!!!…yang benar sa!). Menurut Sdr. Py, SJ yang asli Thailand, Bahasa Manggarai mirip-mirip Bahasa Mandarin so mereka sedikit dapat mengerti (cukagarrra…!!).
Penutup: Welcome To Your Home
Pengalaman Ospek ala STF Driyarkara telah mengubah segalanya, terutama pandangan saya sendiri tentang metode-metode kekerasan dalam Ospek. Tanpa sangsi fisik atau mental, apa yang menjadi sasaran Ospek ternyata lebih mengendap dalam diri tiap-tiap mahasiswa. Masalah perbedaan kelas atau tingkat dalam jenjang kuliah bukan hal yang bukan hal yang mudah. Namun, itu bukan berarti harus menggunakan cara yang tidak manusiawi. Pengalaman Ospek serta segala metode di STF Driyarkara kiranya dapak menjadi pelajaran bagi kita semua. Tugas utama kita (kami) sekarang adalah bagaimana kami menjadikan semua mahasiswa lain sebagai saudara. Lingkungan kampus adalah tempat yang pas untuk memberikan kesaksian cara hidup Fransiskan. Akhirnya, kami sebagai saudara yang baru diutus membutuhkan dukungan dari persaudaran, khususnya dari saudara-saudara sekampus, agar kami mempu menciptakan suasana home di tempat belajar kami yang baru. ***
Bang kalo masuk ke stf, maksimal umurnya berapa?
BalasHapus