Laman

Kamis, 29 Juli 2010

kuliah Teologi

Tema Ulasan: Locus Theologicus dalam sistematisasi Melchior Cano (1509—1560)
Oleh: Dr. T. Chrispurwana Cahyadi, SJ (Dosen Teologi STF Driyarkara, Jakarta)

Locus Theologicus
1. Sistematisasi Cano
Pembicaraan mengenai teologi tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan apa yang menjadi konteks, tempat atau ruang berteologi. Pertanyaan tersebut membawa kita pada persoalan mengenai locus theologicus.
Melchior Cano (1509-1560) diakui sebagai pertama dalam tradisi Katolik yang memberi secara sistematik gagasan mengenai locus theologicus dalam karyanya “De Locis theologicis”. Menurutnya daya pembuktian kebenaran teologis tidak didasarkan pada isinya atau evidensnya, namun dari sesuatu yang di luarnya, dari otoritas yang menyertainya. Untuk itu dia membedakan dua kategori sumber pengetahuan dari dirinya sendiri (proprii) dan yang mengacu atau meminjam dari pendekatan atau kajian ilmu pengetahuan lain (loci theologici alieni vel adscriptitii).
Sumber dari lingkupnya sendiri dibaginya dua: pewahyuan yang konstitutif: Kitab Suci dan tradisi; serta penafsiran dari pewahyuan tersebut: Gereja Katolik, konsili, paus, para bapa Gereja dan teolog-teolog skolastik. Sedangkan telaah lain yang bisa ditambahkan untuk itu: ratio humana, philosophi serta historia humana. Kita lihat bagan yang dibuatnya :

Proprii Revelationem constituentes Scriptura
Traditio
Revelationis interpretationem continentes Ecclesia catholica
Concilia
Ecclesia romana (Paus)
Patres
Scholastici theologi
Alieni vel adscriptitii Ratio humana
Philosophia
Historia humana

Rumusan tersebut muncul di abad pertengahan, menjelang akhir masa skolastik. Pada masa itu konteks universalitas dan sentralisme Gereja masih kuat. Menjadi pertanyaan bagaimana locus theologicus untuk zaman ini, dalam konteks Indonesia dewasa ini?

2. Teologi Negatif
Teologi sebagai jalan pengenalan akan Allah pada dasarnya memiliki 2 jalan: apophatis (teologi negatif) dan cataphatis (teologi positif atau afirmatif). Pengenalan akan Allah merupakan sesuatu yang khas, tidak bisa secara pasti dikategorikan dalam suatu sistem ataupun kerangka pemikiran tertentu.
*Teologi afirmatif mencoba menapaki langkah untuk membuktikan atau menalarkan Allah, karena menyadari bahwa tindakan pengenalan afirmatif akan Allah adalah juga suatu tindakan iman. Malahan sebelum afirmasi tersebut dirumuskan, iman sudah mendasarinya. Thomas Aquinas tentang menyebutkan, omnia cognoscentia cognoscunt implicite Deum in quolibet cognito, semua orang mengenal Allah karena telah secara implisit mengetahuinya. Pengetahun implisit tersebut ditanamkan oleh Allah sendiri. Memang segalanya ditempatkan tidak masing-masing berdiri terpisah sendiri, melainkan saling terkait satu sama lain. Dalam kesaling terkaitan satu sama lain tersebut ada keterarahan pada pengetahuan yang tertinggi akan segala hal, kebenaran akan keberadaan Allah. Segala pemikiran, sebagaimana pula semua hal yang hidup dan segala tindakan, memerlukan prinsip dan ungkapan yang mendasari, sesuatu yang dalam tradisi Augustinian disebut sebagai causa essendi, ratio intelligendi, ordo vivendi (penyebab yang ada, penjelasan akan pengertian, dan norma hidup). Dengan menempatkan Allah sebagai dasar dan penyebab utama dari semua itu, maka dikatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang ada tanpa tata penyelenggaraan Ilahi
Teologi apophatis sering disebut juga sebagai teologi negatif. Paham yang menyertainya adalah kesadaran akan ketidakmampuan segala upaya perumusan ataupun penggambaran akan misteri Ilahi. Segala upaya manusia senantiasa terbatas dan tidak sempurna, sebab transendensi Allah sepenuhnya absolut dan tidak terungkapkannya tidak pernah bisa terumuskan pula. Mengenal-Nya adalah pula tidak mengenal-Nya, demikian paradoks dari pengenalan akan Allah sebagaimana diungkapkan oleh Dionysius Areopagita. Gagasan ini kemudian dikatakan oleh Thomas Aquinas dalam ungkapan, “Apakah Allah itu, kita tidak mengetahui sepenuhnya”. Misteri tetap menjadi bagian dari keberadaan Allah, Dia jauh melebihi dari kemampuan kita dalam menangkap dan memahaminya, lebih daripada konsep ataupun argumentasi manusia.
Ajaran teologi Clemens dari Alexandria memiliki ciri teologi negatif pula. “Kita tidak mengenal siapa dan apa Dia, melainkan hanya siapa dan apa yang bukan Dia”. Allah memang tidak dapat dikenali, dan tak dapat sungguh dikatakan tentang Dia, namun dia melanjutkan lagi: Dia karenanya hanya dapat dikenali melalui dan dalam diri Dia yang menyatakan diri di tengah serta dalam dunia. Dalam diri Putra Allah menyatakan diri-Nya dan Allah mewahyukan diri di dalam Dia. Putra itu, karenanya, adalah pengajar yang benar akan dan tentang Allah.
Si comprehendis, non est Deus, kalau orang dapat memahaminya sungguh, pasti Dia bukan Allah. Dari ungkapan ini Augustinus memberi dasar akan teologi negatifnya, Allah sebenarnya hanya dapat dipahami dari ketidaktahuan, sebab pengenalan akan Allah hanya mungkin kalau orang tahu bahwa dia tidak tahu. Pengenalan akan ketakterpahaminya Allah berarti berada dalam ruang docta ignorantia. Maka kemudian Augustinus mengatakan lebih lanjut: cum absens putatur, videtur – cum praesens est, non videtur: kalau orang mengira Dia tidak ada, Dia terlihat, namun kalau Dia hadir, Dia tidak terlihat.
Teologi negatif dengan demikian menunjukkan ciri hakiki Allah yang jauh melampui batas pemahaman manusia, tetapi juga karenanya memperlihatkan keterbatasan daya nalar manusia dan ruang kemungkinan pengertiannya akan realitas Ilahi.
Akan tetapi perlu mendapatkan perhatian, bahwa teologi negatif bukanlah upaya untuk menghindar dari keengganan manusia untuk menalar akan Allah, apalagi karena terlalu memberi tempat terlalu kuat akan realitas transendensi Allah maka lalu tidak mau memasuki ruang refleksi akan kenyataan pemahaman manusia tentang tanda-tanda kehadiran Allah di tengah realitas dunia kehidupan ini. Allah itu begitu jauh dan transendes, tidak terjangkau dan karenanya tidak bisa dikenali, Dia hanya memberikan perintah dan hukum-Nya bagi keselamatan manusia, bukan mewahyukan, apalagi memberikan, diri-Nya sendiri kepada umat manusia. Memang, pemahaman tersebut serba terbatas, walaupun demikian pemahaman terbatas tersebut tetaplah diperlukan, bahkan didorong untuk dikembangkan. Maka bisa dipahami ungkapan yang mengatakan bahwa tidak ada hal yang lebih buruk daripada teologi negatif yang prematur. Teologi negatif bukanlah teologi negasi, sebab momen negativitas ditandai oleh ketidakmauan untuk masuk dalam pertanyaan atau persoalan. Teologi negatif bisa dikatakan adalah negatif dalam cara memandang, bukan negatif dalam sikap.
3. Teologi Positif
Mengapa positif? Karena Allah adalah dasar dan sumber dari segala sesuatu, maka jika tiada afirmasi akan Dia, maka tidak mungkin orang mengafirmasi yang lain, bagai orang menyangkal adanya terang sinar matahari di dunia ini. Sebab segala apa yang diterangkan dan dibenarkan oleh pengetahuan harus didasarkan pada suatu pengetahuan pula, dan pengetahuan akan Allah adalah dasar dari segala pengetahuan. Jika tanpa itu akibatnya, olah nalar hanya akan terjebak ke dalam lorong gelap subjektivisme fisis, tiada sesuatu yang bisa dipakai sebagai terang dan norma, ataupun arah acuan dan sesuatu yang merupakan dasar dari segala hal yang lain. Dalam pemahaman lebih jauh lagi: cara pandang nihilistik yang lalu bisa terbangun. Memang senantiasa tidak pernah berarti pengenalan afirmatif akan Allah merupakan sesuatu yang mutlak absolut, pengakuan afirmatif akan yang absolut tetap beranjak dari perumusan yang relatif. Misteri Allah tetaplah nyata dan tidak tercemari, betapapun pemikiran logis manusia mengafirmasi keberadaan-Nya. Penalaran manusia tidaklah merendahkan Allah, demikian keyakinan Thomas Aquinas. Oleh karena itu perlu dipahami bahwa teologi Katolik pada dasarnya adalah teologi positif. Teologi ingin mengafirmasi Allah dan merumuskannya secara positif, dan masuk akal.
Pertanyaan lain, ada berbagai paham, pandangan serta penalaran tentang Allah, manakah yang benar dan dapat dipercaya? Kiranya jawaban atas pertanyaan ini bisa mengacu pada pandangan Bernardus, Voces diversae, semitae multae; sed unum per eas significatur, unus quaeritur: ada banyak suara dan jalan, namun hanya satu hal yang ditandainya dan satu pribadi yang dicarinya.
4. Mengapa Karl Rahner menyatakan bahwa, “…bahasa teologi pada dasarnya analogi?”
Karena ketakmampuan manusia secara kodrati untuk mengerti Allah. Pengalaman pertama yang ingin saya bicarakan adalah pengalaman bahwa semua pernyataan teologis – betapapun itu dinyatakan dalam berbagai cara dan tingkat – adalah senantiasa merupakan pernyataan analogis. Hal ini berlaku, tanpa perlu dikatakan, dalam setiap teologi Katolik. Hal tersebut ternyatakan secara eksplisit, sejak dari halaman pertama sampai selanjutnya, dalam semua teologi dan bahkan Erich Przywara menunjukkan pula hal tersebut. Namun saya yakin bahwa prinsip tersebut bisa terlupakan dalam pernyataan teologis tertentu. Saya ingin membagikan peringatan akan kealpaan ini.
Baiklah kita mulai dengan cara sederhana. Pengertian sangat mendasar dan sederhana akan konsep analogi berjalan dalam pemahaman ini: sebuah cara berpikir secara analogis ditandai dengan kenyataan bahwa, dengan bantuan pendekatan tersebut, sebuah pernyataan akan realitas tertentu benar dan tak terelakkan. Akan tetapi, secara bersamaan, pernyataan tersebut harus selalu dalam arti tertentu disangkal. Jika kita menempatkan suatu konsep tersebut hanya dalam realitas yang dibicarakannya tanpa menyangkalnya, tanpa memahami sesuatu yang senantiasa aneh dan misterius antara afirmasi dan negasi, kita akan salah memahami objek realnya dan berakhir pada kesesatan. Namun kebutuhan dalam kebenaran pernyataan analogis akan penyangkalan yang misterius dan tak biasa tersebut lebih sering diabaikan dan tidak mendapatkan. … Pengertian yang benar akan analogi dapat menguakkan fakta bahwa analogi memuat di dalamnya suatu struktur dasar dan fundamental akan pengetahuan manusia.
Di sini saya membahas tentang inti dari analogi – sesuatu yang sering diabaikan dan pula, dalam hal-hal tertentu, dilupakan, yaitu negasi akan pernyataan afirmatif akan makna konseptual nyata ada dalam afirmasinya. Konsili Lateran IV menyatakan secara jelas bahwa, dari cara pandang dunia ini, tiada sesuatu yang substansial dari kodrat positif tentang Allah dapay dinyatakan tanpa, secara bersamaan, memahami ketakmampuan radikal suatu pernyataan afirmatif. Sayangnya saat ini dan pula dalam praksis teologi kita hal tersebut dilupakan. Kita membicarakan tentang Allah, keberadaan Allah, ciri hakekat-Nya, tentang tiga Pribadi dalam diri Allah; kita berbicara tentang kebebasan Allah, akan kehendak Allah yang mengikat, dan sebagainya. Tentu saja, kita perlu melangkah dalam proses seperti itu, sebab tentang Allah kita tidak bisa diam begitu saja. Sesungguhnya, hanya setelah terlebih dahulu berbicara menjadi mungkin – dan hanya mungkin – kita menjadi diam tentang Dia. Akan tetapi, dalam diskursus semacam itu kita biasanya lupa bahwa setiap pernyataan yang dibuat tentang Allah menjadi benar hanya jika berada dalam ruang cakupan bahwa secara bersamaan hal itu dinegasi pula. … Dengan membuat seperti itu, pernyataan teologis kita akhirnya masuk ke dalam pengakuan “diam” kita akan hakekat terdalam Allah yang taksepenuhnya terpahami. …
Begitu sering pengajaran-pengajaran dan ceramah kita dan pernyataan dari kuria kepausan tidak memberi kesan jelas bahwa itu semua ditandai dengan keterbatasan manusia sebagai ciptaan. Padahal hanya dengan kerendahan hati seseorang dapat berbicara tentang Allah. Sehingga dengan demikian seseorang mengerti bahwa semua perbincangan tentang Allah dapat menjadi saat final di hadapan keheningan suci yang memenuhi Surga dengan memandang Allah dari muka ke muka. …
Di sini saya hanya ingin menegaskan bahwa pengalaman para teolog hanyalah bermakna kalau mereka tidak mencari keyakinan diri sendiri bahwa mereka telah menghasilkan perbincangan yang jelas dan utuh, tetapi kalau mereka mengalami dan senantiasa memberikan kesaksian akan ciri analogis antara afirmasi dan negasi di hadapan jurang ketakterpahaminya Allah. Karenanya saya mau mengaku bahwa sebagai seorang teolog biasa saya memberikan hanya sedikit pemikiran akan kodrat analogis dalam pernyataan-pernyataan teologis saya. Sebagai teolog kami ini memberikan waktu terlalu banyak untuk berbicara tentang persoalan tersebut, namun secara umum kami luka akan subjek hakiki dari perbincangan teologis kami.
5. Apa Konsekuensi Karl Rahner mengatakan bahwa teologi adalah pewahyuan diri allah
Menurut saya, kebenaran dan satu-satunya inti Kristianitas adalah pewahyuan diri Allah secara konkret di tengah ciptaan dalam realitas dan kemuliaan Ilahi yang paling dalam. Hal tersebut adalah pengakuan akan kebenaran yang tidak biasa, yakni bahwa Allah dalam kenyataan dan kemuliaan diri-Nya yang tidak terbatas, dengan kesucian, kebebasan dan kasih dapat sungguh dan secara penuh masuk ke dalam realitas ciptaan keberadaan kita. Segala hal yang lain, yang ditawarkan atau dibutuhkan Kristianitas dari kita dibandingkan dengan itu semua hanyalah sementara dan tidaklah sangat penting.
Apa yang saya katakan tentang itu dapat pula diungkapkan secara lain. .. Menurut saya, segala antusiasme yang paling saleh akan Yesus (Yesuanisme), segala keterlibatan akan keadilan dan cintakasih di dunia, semua humanisme yang menggunakan Tuhan bagi umat manusia daripada meletakkan umat manusia ke ruang kedalaman Allah, dapat sekedar menjadi suatu agama yang ditandai oleh humanisme yang sepenuhnya biasa. Humanisme semacam itu pada dasarnya bukanlah suatu pilihan yang layak diberikan pada kasih kemahakuasaan yang besar dari Allah, kasih yang mengalir dari kasih Ilahi. … Sebagian besar upaya kita berteologi lebih berpusat pada mereka yang dilayani oleh Gereja dan sakramen-sakramen yang lahir dari hadapan Allah, namun kita perlu lebih merefleksikan bagaimana kita dapat membayangkan peziarahan banyak orang – pun bangsa-bangsa yang paling primitif dari jutaan tahun lalu, demikian pula mereka yang bukan Kristiani dan bahwa atheist – dan peziarah tersebut dalam cara dan wujudnya membawanya menuju pada Allah sendiri.
Tentu saja orang dapat mengatakan bahwa keselamatan Ilahi secara konkret mungkin ada di manapun dan bagi semua umat manusia lewat sejarah dan suatu cara yang hanya dapat diketahui oleh Allah. Hal ini sangatlah benar. Akhirnya saya, dengan semua teologi Kristiani, harus meninggalkan segala perkara pada keputusan Allah yang tak terduga, yang sangat bisa terjadi dengan kasih pembebasan yang mengatasi benteng egoisme kita. Waktunya ketika Kristianitas dapat sungguh dihadirkan dengan suatu cara sehingga dapat disampaikan kepada orang-orang dari segala bangsa dan semua zaman, maka dia dapat menjadi semacam agama yang didamba, maka secara umum dan di setiap masa kita dapat semakin mencurahkan pemikiran tentang Kristianitas ‘anonim’, bahwa istilah tersebut sangat kontroversial tidaklah penting bagi saya. Bisa diduga kalau ada seseorang tidak ingin membiarkan dirinya diselamatkan, ketika dia tidak dapat melihat bagaimana sesamanya dapat pula diselamatkan. Adalah suatu bagian dari tindakan kasih akan sesama – sesuatu yang sepenuhnya dituntut paa setiap orang Kristiani – kalau seseorang mengharapkan keselamatan akan dirinya hanya dalam kerangka harapan universal, suatu harapan akan semua umat manusia.
Argumen saya adalah bahwa seorang teolog Kristiani tidak bisa menghindari untuk memikirkan bahwa gagasan tentang kelemahan manusia dan pengampunan dosa berkat rahmat, dalam arti tertentu, merupakan sesuatu yang kurang penting dibandingkan dengan tema tentang pewahyuan diri Allah secara radikal. … Pewahyuan diri Allah pada ciptaan adalah sesuatu yang fundamental dibandingkan dosa dan pengampunan dosa. …

6. Membicarakan soal dialog antara teologi dan ilmu pengetahuan lainnya
Pengalaman keempat dan terakhir dapat disebutkan, betapapun sebenarnya sudah secara tidak langsung disinggung dalam pengalaman-pengalaman sebelumnya, dan sebenarnya bukanlah sesuatu yang sangat penting dalam teologi. Saya mengacu pada kurangnya keterkaitan antara teologi dengan ilmu-ilmu lainnya. Yang saya maksudkan sebenarnya adalah berangkat dari fakta sederhana bahwa saya mengetahui dan mengalami sangat sedikit dari kekayaan pengalaman manusiawi dan pengetahuan yang digali dalam semua ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam musik, puisi, keindahan seni dan bahkan dalam sejarah umat manusia secara umum – sementara sebagai teolog saya hanya tahu sedikit tentang itu. Jika sebagai teolog saya merefleksikan tidak tentang konsep yang abstrak tentang Allah, tetapi mencoba untuk mendekati Allah secara langsung, maka sepenuhnya tidak bisa kalau apa yang telah Allah nyatakan sebagai Pencipta dunia, Tuhan sejarah, tidak menarik perhatian saya.
Memang, ada klaim saleh bahwa segala sesuatu yang perlu bagi keselamatan saya sudah terdapat dalam Kitab Suci, maka orang lalu tidak perlu tahu apapun di luar itu. Akan tetapi jika saya ingin mencintai Allah demi Dia dan tidak hanya demi keselamatan saya pribadi, maka agar dapat menemukan-Nya saya tidak bisa membatasi minat hanya pada Kitab Suci belaka. Lebih daripada itu, segala sesuatu yang menjadi bagian dari tanda penyataan diri Allah di dalam dunia tercipta ini perlulah menjadi minat perhatian saya. Hal ini secara khusus perlu bagi teolog yang bertugas untuk secara intelektual melawan setiap bentuk egoisme yang keliru terkait dengan keselamatan.
Seorang teolog jika hanya tahu amat sedikit tentang pengalaman manusiawi yang berbicara mengenai Allah, maka teologinya bisa menjadi abstrak, tanpa warna, sangat jauh dari penyingkapan akan pribadi manusia dan dunia. Memang sebagai teolog setiap kali saya membuka buku akan ilmu pengetahuan modern, saya mudah segera menjadi panik, sebab sebagian besar apa yang tertulis dalam buku tersebut sangatlah asing bagi saya. Saya merasa tidak sanggup memahami isinya. Karenanya sebagai teolog, saya merasa berkompromi dengan wajah sempit realitas ini, sehingga abstraksi yang kaku dan tanpa makna dari konsep teologis saya menjadikan saya terkejut (shock).
Sebagai seorang teolog saya menyatakan bahwa Allah menciptakan dunia, namun, karena hanya tahu sangat sedikit tentang dunia ini, kenyataan ciptaan akhirnya tetap asing bagi saya. Sebagai teolog saya juga mewartakan bahwa Yesus, yang adalah manusia, adalah Tuhan segala ciptaan. Kemudian ketika saya membaca perkembangan semesta yang telah berjalan selama jutaan tahun, saya lalu dengan cemas mempertanyakan apakah maksud sebenarnya dari pernyataan saya tersebut. .. Saya menemukan bahwa ilmu pengetahuan modern mengajukan berbagai pertanyaan pada teologi, dan teologi hingga kini tidak mampu memberikan jawaban terang atas persoalan-persoalan tersebut.
Di satu sisi ada sesuatu yang disebut sebagai ciri khas kodrati manusia yang tetap dan tidak berubah. Namun di sisi lain, kita musti memahami fakta akan adanya arus perubahan yang begitu cepat dan deras. Dalam situasi seperti ini, teolog perlu menjadi hati-hati dan rendah hati, namun mereka tetap harus berani mewartakan pesannya serta mempertahankan keyakinannya. Mereka perlu memberikan teladan pula akan kesadaran mengenai keterbatasan pengetahuannya.



7. Mengapa Yoseph Ratzinger berbicara tentang Relativisme
Gereja bagi teologi bukanlah sesuatu yang berada di luar dirinya, namun merupakan dasar eksistensi dan prasyarat gerak reflektifnya. Gereja di sini dimaksudkan bukan suatu prinsip abstrak, melainkan subjek yang hidup dan konkret. Sebagai subjek Gereja mengatasi individu dan generasi, sebab kehidupan Gereja berproses melintasi tradisi dan situasi dari berbagai masa. Dalam konteks ini letak kuasa mengajar Gereja adalah antara lain untuk untuk menjamin keberlangsungan atau kontinuitas gerak perjalanan sejarah dan tradisi Gereja. Selain itu kuasa mengajar Gereja dimaksudkan pula untuk menjamin agar pewartaan iman rasuli lah yang dijalankan dan diwujudnyatakan dalam tubuh Gereja, pun dalam teologi. Pewartaan iman itulah yang menjadi tolok ukur teologi, dan bukan teologi yang menjadi kriteria pewartaan. Teologi diarahkan untuk semakin mewartakan kebenaran iman Gereja.
Akan tetapi diakuinya bahwa dalam teologi 'bahasa' memainkan peran cukup penting. Dia menyebut itu ketika mengenai pengalamannya sebagai teolog Konsili Vatikan II. Bahasa teologi skolastik tidak lagi 'berbunyi' sebagai media penyampaian ajaran iman, karenanya 'bahasa' baru harus ditemukan, yang adalah 'bahasa' yang lebih terbuka akan situasi baru, terlebih 'bahasa' yang mengena bagi semangat kaum muda. Iman adalah sesuatu yang terus berjalan, situasi zaman dan perubahan generasi bisa membuahkan 'bahasa' iman yang berbeda, walau inti dan isinya tetaplah sama. Itulah salah satu tugas teolog, yang di satu sisi tetap menjalin ikatan erat dengan Gereja serta ajarannya, namun di sisi lain kreatif menemukan jalan bagi pembahasan ajaran iman yang kontekstual. Akan tetapi, peringatan untuk waspada segera diberikan, terkait dengan gagasan pluralisme dalam teologi yang terkait dengan kontekstualisasi. Teologi, demikian kata Ratzinger, pada dasarnya tidak mengenal pluralisme, sebab teologi berangkat dari sumber dan muara yang satu dan sama: satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dalam dan bagi semua. Pluralisme hanya dipahami dalam konteks pewujudan praksis teologis, yang dinyatakan dalam keberbedaan ruang pewujudan. Namun, walaupun begitu, akhirnya semuanya menuju pada satu opsi, pun satu praksis.
Dalam perkembangan teologi, pun eksegese Kitab Suci, kini berkembang, apa yang disebutnya sebagai, 'poliponi' untuk mengimbangi monotonnya penafsiran dan pendekatan tradisional. Akan tetapi tidak jarang malahan gambaran yang dihasilkannya tidak jelas dan membingungkan. Hal itu terjadi karena masing-masing tidak berangkat dan menangkap keseluruhan pesan, namun memotong bagian-bagian tertentu kemudian membuat susunan pemikiran darinya. Padahal iman bukanlah produk suatu potongan-potongan fragmentaris pesan iman atau kutipan teks Kitab Suci, seakan merupakan suatu buah dari 'operasi otopsi' untuk membangun sintesa buatan manusia belaka. Orang tidak kembali masuk dan mendalami sumber dasar, namun membongkar sumber tersebut. Pendekatan yang ilmiah ini sebenarnya sama saja dengan pendekatan kaum fundamentalis, yang juga hanya mencuplik teks-teks tertentu, sesuai apa yang dirasakan cocok dan diinginkannya, kemudian memegangnya seakan sebagai keseluruhan kebenaran ajaran.
Kritik pertama-tama dalam hal ini memang ditujukan pada pendekatan analisa historis-kritis atas teks Kitab Suci yang cenderung hanya menempatkan Yesus sebagai bagian dari masa lalu, sehingga Yesus seakan tidak berbicara kepada kita saat ini. Historisitas Kitab Suci hanya berbicara mengenai masa lalu, maka tidak berbicara untuk masa kini, bermakna untuk orang masa lalu, bukan untuk kita dewasa ini. Di dalamnya Kristus bukanlah Kristus dahulu, sekarang, kemudian dan dalam keabadian, namun Kristus masa lalu. Kalau kemudian Yesus dikaitkan dengan realitas kehidupan dewasa ini, dia hanya ditempatkan dalam realitas ide dan gambaran ideal belaka. Hal ini terjadi karena pendekatan ilmiah, pun dalam studi Kitab Suci dan teologi, ditempatkan dalam perspektif logis belaka, objektivitas alamiah, karenanya sesuatu yang tidak objektif dan tidak termasuk ke dalam kerangka sistematis ditempatkan di luar kategori pengetahuan. Memang postulata objektif yang berlaku tidak berbicara dalam kerangka subjektivitas, pun realitas pewahyuan dan pengalaman akan Allah pun tidak termasuk dalam kerangka ini. Dampaknya adalah relativismus dalam memandang serta meletakkan figur Yesus Kristus dikembangkan dengannya. Dia hanya menjadi bagian dari fragmen historis, yang diletakkan sejajar dengan berbagai fragmen lain yang ada dalam lintasan sejarah kehidupan. Yesus kemudian, dari sini, hanya ditempatkan sekedar sebagai seorang tokoh model atau teladan ideal, dan tidak memandang-Nya sebagai Allah yang hidup, karena menempatkan realitas Ilahi tersebut dalam kategori mitologis. Padahal Yesus historis adalah juga Kristus iman, sehingga kajian historis akan Yesus tidak bisa begitu saja dilepaskan dari iman akan Kristus. Tidak mengherankanlah kalau dia mengatakan bahwa krisis teologi dewasa ini adalah krisis kristologi.
Ratzinger menengarai bahwa hal ini terjadi karena para teolog bekerjasama dengan para rekan kerjanya yang bukan teolog dan mengambil alih cara serta model pendekatan mereka, pendekatan positivistik, sebagaimana Rudolph Bultmann, tokoh pendekatan historis-kritis, yang memakai analisa filsafat Martin Heidegger, sehingga lalu dipertanyakannya, kita mendengarkan Yesus atau Heidegger?. Pendekatan tersebut menanggalkan kenyataan Kitab Suci sebagai inspirasi Ilahi dan menempatkannya sebagai tulisan dari masa lalu, yang ditafsirkan dalam kerangka pandang masa kini mereka. Mereka tidak mengacu dan menggali dari sumber otoritas ajaran iman, namun melakukan rekonstruksi makna akan teks, dan rekonstruksi ini tidak berangkat dari originalitas. Selain itu menurutnya, gejala terjadi pula karena teologi diabdikan pada kepentingan praktis, kepentingan sosial-politis, yang katanya dimaksudkan untuk membangun dunia menjadi lebih baik. Efeknya seakan ditempatkan bahwa antara teologi sebagai refleksi atas praksis perubahan masyarakat dengan magisterium Gereja tidak bisa dipertemukan. Baginya jelas, bahwa refleksi teologis dan eksegese tidak bisa dicampuradukkan dengan pendekatan ilmu politik, sosiologi ataupun ekonomi. Maka merupakan suatu penyelewengan Kitab Suci dan teologi, jika melakukan pemutlakan dan sakralisasi teori politis-kemasyarakatan karena menggunakannya sebagai kerangka dasar telaahnya. Memberi tekanan kuat akan fakta, seakan fakta itu yang berkuasa menentukan kebenaran, ditengarainya mendapatkan pengaruh dari tendensi positivistik ini. Cara berpikir teknis sebagaimana dalam ilmu pasti lalu dijadikan tolok ukur untuk menilai kebenaran dan nurani. Refleksi teologis lalu, menurutnya, tidak jarang berjalan sesuai prinsip kerja rasionalitas teknis yang terpadu dengan konsep pemikiran marxisme. Profanisasi, relativisme dan subjektivisme, atau sosiologisasi kebenaran, demikian Joseph Ratzinger menengarai tendensi yang ada. Teologi, dengannya terjebak dalam faciendum, paparan fakta, sehingga memadukan begitu saja iman dengan tindakan politis, akibatnya teologi tersebut tidak masuk ke dalam kedalaman dasar kebenaran.
Akan tetapi pandangan filosofis yang menyangkal adanya realitas transendens, seakan sesuatu yang absolut itu adalah sesuatu yang tidak dikenal dalam kategori nalar, maka kemudian dikatakan tidak ada, berpengaruh juga. Mukjijat, sarana rahmat dan misteri dipandang sebagai suatu buah khayalan, demikian sebagaimana dikatakan Immanuel Kant. Pendekatan ini dibuat pula dalam kajian eksegese Kitab Suci. Karenanya lalu, dikatakan Ratzinger, bukan eksegese yang membuktikan filsafat, tapi malahan filsafat menghancur-luluhlantakkan eksegese. Akal budi, dengannya, tidak terbuka akan kenyataan metafisis, namun hanya mengakui apa yang secara positivistik diakui benar serta logis oleh nalar. Padahal iman tidak didasarkan pada akal, dan penalaran iman bukan pula sekedar merupakan buah refleksi filosofis.
Ratzinger kemudian mengutip kata-kata Gregorius Nyssa, "Misteri teologi adalah satu hal, dan telaah intelektual adalah hal lain". Bukan berarti bahwa teologi bukanlah suatu kajian intelektual. Namun yang dimaksudkannya adalah refleksi intelektual dalam teologi jangan sampai menanggalkan kenyataan misteri iman. Teologi bukan sekedar suatu kajian nalar saja, dijalankan hanya berdasarkan metodologi ilmiah belaka. Oleh karena itu kajian teologis dan biblis bukanlah sesuatu yang terpotong-potong, tanpa kontinuitas, sehingga hanya melihat potongan historis tanpa mengenal keseluruhan perjalanan historisitas tradisi. Tentunya para teolog dan ekseget harus pula kritis akan pandangan dan pendekatannya, selain harus pula memahami implikasi dari apa yang dipikirkannya. Selain itu mereka bukanlah orang yang berdiri di ruang netral, di luar sejarah dan Gereja, sehingga lalu menganalisa Kitab Suci hanya sebagai buku atau dogma hanya sebagai rumus. Iman Gereja memiliki bentuk 'sympathia', yang dengannya tidak dimaksudkan sebagai suatu kitab tertutup.
Akan tetapi relativisme dalam teologi juga ditengarainya terjadi karena praktek relativitas di tengah realitas pluralisme. Pluralisme menjadikan orang tidak teguh mempertahankan kebenaran yang dimilikinya. Kecenderungan ini terjadi tidak saja dalam teologi agama-agama, tetapi pula dalam pendekatan teologis yang memberi tekanan akan aspek Kerajaan Allah, dengan menanggalkan aspek ekklesiosentris, kristosentris dan teosentris. Pendekatan ini, menurut Ratzinger, tidak akan mendorong ke arah dialog sejati, sebab tidak termuat lagi di dalamnya keperbedaan dan keunikan kebenaran yang dimiliki, segalanya lalu direlatifkan. Dogma pun mengalami proses relativisme, dengan menganggap bahwa iman Gereja akan keunikan dan ketunggalan keselamatan dalam diri Yesus Kristus merupakan suatu pandangan fundamentalistik. Dialog dalam realitas pluralisme diharapkan Joseph Ratzinger jangan sampai mengorbankan kebenaran dasar, bahwa kebenaran iman mengakar pada Pribadi Yesus Kristus.
Sisi lain adalah dengan upaya pemaduan antara teologi pembebasan dan teologi agama-agama, ditumbuhkan suatu sintesa, dengan tekanan akan ortopraksis daripada ortodoksi, sebagaimana dipelopori oleh Paul Knitter. Pertanyaan kritis dari Ratzinger, sebagaimana pula kritiknya atas teologi pembebasan, adalah apakah yang dimaksud dengan praksis, nilai dan kebenaran absolut jika tidak ditekankan dalam praksis pembebasan hanya akan menjadikan praksis yang dimaksudkan adalah praksis yang kosong, tanpa makna. Agama-agama timur, khususnya yang dari India, menurut Ratzinger, tidak memiliki ortodoksi, mereka memang lebih mengarahkan pada soal praksis hidup. Tapi praksis hidup jika tidak ada ajaran iman atau suatu pengakuan iman yang jelas, menjadikan praksis itu seakan hanya suatu tindakan ritual, tanpa jelas berbicara mengenai keselamatan. Apalagi, kalau kemudian menurut Knitter, bahwa tolok ukur ortopraksis itu adalah kebebasan, maka menjadi tidak jelas apa yang hendak diperjuangkan dalam praksis itu, selain tendensi akan relativisme.

8. Teologi tdk bias dipisahkan dari spiritualitas
Teologi memang tidak bisa dipisahkan dari iman, bahkan berangkat dari iman. Akan tetapi harus dipahami bahwa penalaran manusia, penalaran yang mencari pendasaran dan pemahaman iman, terbatas, maka menjadi bahaya jika buah penalaran dimutlakkan. Penalaran teologis menyatakan realitas kemutlakkan, kebenaran Ilahi. Teologi dengan demikian tidak berangkat dari teks tertutup, namun bertanya akan kebenaran, dan karenanya menempatkan manusia sebagai pihak yang memuat kebenaran. Persoalan terjadi jika teologi hanya ditempatkan dalam konteks ruang akademis, demikian Ratzinger melihatnya. Problem ini terjadi jika kemudian penalaran ditempatkan secara positivistis, penalaran logis ilmiah belaka, atau dalam ruang sempit spesialisasi. Teologi dengan demikian perlu diletakkan dalam konteks realitas, baik itu realitas Gereja maupun realitas kehidupan umat manusia. Di dalamnya termuat kajian historis kritis, baik atas teks maupun atas tradisi, menelaah orthopraxie sebelum orthodoxie, sehingga dengannya orang terdorong untuk mencari sungguh apakah kebenaran itu. Dengan mencoba untuk mengkaitkan kembali iman dengan akal budi seperti ini, Ratzinger ingin menggarisbawahi bahwa teologi jangan sampai terjebak hanya pada persoalan antropologis belaka, apalagi kemudian menerapkan prinsip rasionalisme teknis, yang kecenderungan menganggap kehidupan rohani sebagai sesuatu yang irasional.
Oleh karena itu baginya teologi tidak bisa dipisahkan dari spiritualitas. Teologi adalah pula spiritualitas. Demikian pula sebaliknya. Teologi adalah upaya untuk mengerti iman, dalam pemahaman rasional, dan karena yang dicoba mengerti adalah iman, teologi adalah pula pertanyaan eksistensial akan kenyataan terdalam akan diri pribadi manusia sendiri, sebagai umat beriman. Upaya tersebut oleh sebab itu tidak bisa dilepaskan dari doa, pengalaman dan pengolahan diri sebagai pribadi beriman. Teologi, sebagai konsekuensinya, adalah upaya nalar yang senantiasa mau mencari kebenaran, nalar yang senantiasa mau berubah dan bertobat, di hadapan Allah, yang dicoba untuk dimengertinya. Proses ini baginya tidak bisa dilepaskan dari Gereja, sebab spiritualitas teologis adalah pula spiritualitas Gereja.
Oleh karena itu, teologi, pun studi Kitab Suci, jika tidak diletakkan di dalam Gereja, tidak akan menjadi suatu ajaran iman, namun hanya akan menjadi suatu pengetahuan belaka. Teologi dan eksegese yang demikian itu tidak tumbuh dari muara kehidupan Gereja. Padahal suatu eksegese yang tidak ditempatkan dalam iman Gereja hanya akan menjadi suatu "Nekrophilie": orang mati yang menguburkan orang mati. Maka menjadi sesuatu yang wajar jika teolog tetap menyadari perutusannya, sebagai pelayan Kristus di dalam Gereja. Konsekuensinya, dia harus pula selalu sadar akan keterbatasan metode, analisa dan refleksinya, sehingga telaahnya selalu bagai menjadi suatu 'buku yang terbuka'. Memang harus diakui penggalian akan misteri Allah dan kehidupan iman tidak akan pernah menjadi mudah, apalagi jika tidak saja kembali ke sumber dasar, namun pula menelusuri jejak perjalanan tradisi dan ajaran Gereja yang sudah berlangsung beratus-ratus tahun ini. Berbagai problematik muncul di dalamnya, bahkan tidak sedikit problematik yang diperdebatkan saat ini telah pula menjadi topik wacana teologis di awal abad kristianisme.
Saat di Paris, Paus Benediktus XVI berbicara tentang perlunya eksegese, atau penafsiran, akan Kitab Suci. Namun dengan mengutip Santo Augustinus yang mengatakan, „littera gesta docet – quid credas allegoria“, dikatakannya bahwa sesuatu yang dipercayai ditandai dengan alegori, sebagaimana ditunjukkan sendiri dalam tulisan-tulisan Kitab Suci, karenanya penafsiran Kitab Suci senantiasa berarti suatu penafsiran kristologis dan pneumatologis, refleksi teologis akan Kristus dan Roh Kudus. Konteks komunitas tempat dan saat teks Kitab Suci tersebut lahir memang perlu dikenali, sehingga terang dan makna dalam komunitas yang hidup dipahami. Kristianitas bukanlah agama buku, karena mereka mau mengenali Sabda, logos, yang menyatakan misteri-Nya melalui realitas dan keberagaman sejarah umat manusia. Karenanya pengenalan akan teks mengarahkan orang pada pengenalan akan proses kehidupan, di mana sabda dan karya Allah ternyatakan pula di tengah dunia dan dalam sejarah umat manusia.
Salah satu persoalan yang dihadapi terletak dalam bagaimana memahami kaitan antara transendensi Allah dan kebenaran-Nya dengan proses historis. Melepaskan transendensi sehingga hanya lebih menyoroti dimensi historisitas bisa, dikhawatirkannya, mereduksi kebenaran dan absoluditas Ilahi. Kalau tidak hati-hati teologi dogmatis bisa, karenanya, menjadi suatu ideologisasi ajaran. Di sisi lain bisa pula terjebak dalam kecenderungan reaksioner. Bagi Ratzinger sendiri dogma merupakan suatu 'simbol', yang membangun kesatuan roh melalui kesatuan di dalam dunia, agar semua bersatu untuk mewujudkan pelayanan dan pengabdiannya kepada Allah, dalam kesatuan dengan realitas sakral. Dogma, dengan demikian, merupakan sarana utama bagi kehidupan iman. Walau hanya merupakan sarana, namun dogma tidak bisa diubah, betapapun, menurutnya, perubahan bahasa doktrin memungkinkan dibuat. Teologi, dengan demikian, memuat konsekuensi apologi, memberi jawab dan pendasaran atas iman dan harapan serta kasih yang dipahaminya. Itu merupakan bagian dari pertanggungjawaban iman.
Oleh karena itu diingatkan pula oleh Joseph Ratzinger akan keterkaitan antara Kitab Suci dan tradisi, sehingga telaah akan pewahyuan Allah dalam Kitab Suci tidak bisa dilepskan dari tradisi, baik tradisi yang melingkupi pewahyuan tersebut, maupun tradisi yang mewujudkan serta meneruskan pewartaan Wahyu Ilahi dalam Kitab Suci, terlebih dalam tradisi Gereja yang berkat bimbingan Roh Kudus menafsirkan dan mewujudkan warta pewahyuan Allah dalam sejarah dan bagi kehidupan. Tentu pemahaman akan wahyu Allah tidak bisa dilepaskan dari pribadi Yesus Kristus.

9. Tugas Panggilan seorang teolog
Teologi diharapkan senantiasa menjaga kesatuan: kesatuan umat Allah, kesatuan antara ciptaan dengan Pencipta, dan kesatuan antara filsafat dan agama. Demikian Joseph Ratzinger, dengan mengutip Ireneus, memahami peran sebagai teolog. Maka dia meminta agar para teolog dalam menjalankan refleksi teologisnya kembali kepada fundamen dasar telaah: Kitab Suci dan ajaran magisterium Gereja. Subjek kesibukan teologi bukanlah suatu ajaran, aliran, atau pemikiran orang tertentu, melainkan Gereja sebagai kebersamaan, Gereja semesta. Kebenaran dalam teologi tidak pernah bersifat subjektif, apalagi individualis, yang sedikit bersinggungan dengan tradisi. Betapapun seorang teolog diharapkan kreatif, namun kreativitasnya hendaklah diupayakan untuk memperdalam ajaran iman, dan bukan malahan berkreasi dengan ajaran sendiri.
Gereja sendiri tidak menghasilkan kebenaran, sebab kebenaran berasal dari Allah. Namun Gereja menerima kebenaran Ilahi tersebut. Maka kemudian Gereja memiliki panggilan bukan saja untuk mempertahankan, namun pula menjamin agar kebenaran tersebut dapat terwujud. Teologi dan magisterium, para teolog dan pimpinan Gereja, sama-sama mengemban panggilan tersebut. Keduabelah pihak harus saling mendengarkan, teolog mendengarkan magisterium, dan peran magisterium dijalankan berkat dukungan refleksi teologis dari para teolog. Untuk itu memang ruang kebebasan untuk berefleksi harus diberikan kepada teolog. Tentu di sini, Ratzinger tidak mau membenarkan kritik dari kalangan teolog soal anggapan, dan bahkan tudingan yang sering bernada negatif atas besarnya kewenangan kekuasaan atau otoritas Gereja.
Memang dari sisi teolog sendiri muncul gugatan akan kewenangan kuasa mengajar Gereja dalam proses refleksi teologis, dan tidak jarang gugatan tersebut ditujukan pada Kongregasi Ajaran Iman yang dikepalai oleh Joseph Kardinal Ratzinger. Ratzinger sendiri mengetarai kritik tersebut antara lain berpangkal pada anggapan bahwa kesetiaan pada kuasa mengajar Gereja tidak jarang dipandang bertentangan dengan prinsip logika pengetahuan, sebab norma pengetahuan adalah penalaran, yang dinyatakan lewat argumen, dan validitas argumen tidak ditentukan oleh otoritas melainkan melalui perdebatan argumentatis. Ratzinger mengetarai tendensi ini berkembang di kalangan akademisi, pun di fakultas teologi, karena teologi kemudian ditempatkan dalam organisme prinsip ilmiah universiter. Ini disebutnya sebagai gejala liberalisme. Maka kemudian dalam menanggapinya Ratzinger kemudian mengutip Romano Guardini yang menyebutkan bahwa hanya dengan ketaatan akan dogma teologi akan membatasi ruang gerak liberalisme. Gereja dan otoritas Gereja merupakan faktor yang tidak dapat dihilangkan dari teologi, sebab Gereja tanpa teologi akan menjadi Gereja yang miskin dan buta, namun sebaliknya teologi tanpa Gereja akan menjadi akan terjebak ke dalam kesewenangan, bergerak sesuka hati. Teologi dengan Gereja, dengan demikian, saling terkait, dan dalam konteks ini kuasa mengajar Gereja bukanlah perkara kekuasaan, namun soal kebenaran dogmatik. Maka adanya suatu keserasian relasi antara teolog dengan kuasa mengajar Gereja, antara teolog dengan hierarki, agar refleksi teologis yang tepat dapat selalu dibangun, merupakan salah satu harapan yang dikemukakan oleh Kardinal Ratzinger, pun selaku kepala Kongregasi Ajaran Iman. Teologi yang hanya sekedar ilmiah dan universiter, akademis, akan kehilangan makna historis dan pula menjadikannya steril dari aspek gerejani.
Namun dari harapan ini dia mengemukakan kritik. Kritik pada beberapa teolog tersebut dikemukakan berangkat dari keprihatinannya bahwa spesialisasi menumbuhkan kesombongan, baik kesombongan dalam pandangan maupun pendekatan. Kesombongan akan menumbuhkan ketidaksetiaan, dan diakuinya sikap sombong dan arogan itu merupakan ciri gelap dari spesialisasi. Arogansi para spesialis menurutnya hanya menempatkan iman sebagai salah satu bagian saja dalam bidang sempit kehidupan. Terutama kritik tersebut ditujukan pada pendekatan kritik teks atas Kitab Suci, mereka itu menempatkan iman dalam padang gurun kering dunia tak bertuhan, dan mereka tidak jarang malahan menggunakan Kitab Suci untuk melawan Gereja. Maka menurut Ratzinger mereka perlu disegarkan dengan air segar dari sabda Allah. Posisi dasarnya sederhana: umat beriman kenyataannya adalah orang-orang sederhana dan biasa, maka jangan sampai mereka itu dibuat bingung dan kacau oleh 'jungkir-balik permainan kata' para teolog. Baginya pertimbangan nalar dan pertimbangan hidup bukanlah sesuatu yang terpisah, karenanya refleksi teologis pun adalah refleksi yang mempertumbuhkan iman Gereja, dan menjawab sungguh pertanyaan dasar: apakah artinya hidup sebagai umat manusia. Tugas teologi, demikian kata Ratzinger, adalah agar menjadikan umat manusia bertemu muka dengan Allah sendiri, agar umat manusia dalam memahami perjumpaannya dengan Allah dalam sejarah menjadikannya terarah pada-Nya sehingga semakin memahami pribadi serta keberadaan-Nya.
Oleh karena itu para teolog senantiasa perlu bertobat, agar, sebagaimana dikatakan Santo Paulus, ".. bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.." (Gal 2,20). Karena berangkat dari iman, maka berteologi senantiasa membutuhkan proses pertobatan. Ada gerak perubahan subjek, bukan lagi diri sendiri, melainkan Kristus. Perubahan subjek tersebut memang diakui memiliki dimensi passivisme, namun passivisme ini adalah suatu salib, penyangkalan diri. Penyangkalan diri ini, kemudian oleh Ratzinger, ditempatkan dalam konteks sakramental, yang berpangkal pada peristiwa pembaptisan, masuk ke dalam dimensi gerejani, menjadi bagian dari tubuh Kristus, dan mengenakan Dia dalam hidup serta kesibukan pengolahan teologisnya. Subjeknya tetap Kristus, dan Gereja berada dalam ruang subjek tersebut. Karenanya, dalam perspektif ini, Gereja tidak dilihat sebagai institusi sosial. Teologi bukanlah produk suatu pemikiran belaka, namun berawal dari perjumpaan dengan sabda. Berteologi, dengan demikian, dalam kerangka pemikiran Ratzinger, adalah di dalam dan bersama Gereja, berkat terang Roh Kudus mendengarkan Kristus, yang adalah suara Bapa. Aku, bukan lagi aku murni, demikian kata Ratzinger, melainkan aku dalam Dia.
Dalam perspektif pemikiran ini kita akan mencoba memahami apa yang dimaksudkan ketika Kongregasi Ajaran Iman pada tanggal 24 Mei 1990 mengeluarkan instruksi, yang ditandatangani Joseph Kardinal Ratzinger, tentang panggilan gerejani para teolog. Dalam instruksi tersebut ditegaskan bahwa iman kristiani bukanlah suatu aktivitas bebas dan Gereja janganlah dipandang bagai suatu klub atau kelompok. Iman bicara mengenai kebenaran, dan baru dalam kebenaran itulah kebebasan sejati dalam berteologi didapatkan. Oleh karenanya teologi bukanlah suatu filsafat agama apalagi ilmu fenomenologi agama yang lebih bersifat profan. Teologi berbicara mengenai apa yang telah disabdakan dan dinyatakan Allah. Teologi memiliki penalarannya sendiri, akan tetapi tetap dalam upaya telaah mengenai kebenaran, agar iman semakin diperdalam, dan karena itulah dialog dengan kuasa mengajar Gereja mendapatkan tempatnya. Karena itulah perutusan teolog berada dalam tiga relasi: umat Allah sebagai penghayat dan komunitas umat beriman, kuasa mengajar dan teologi sebagai telaah pengetahuan. Teologi, dengan demikian bukanlah suatu ide pribadi seorang teolog, dan Gereja bukanlah sesuatu yang berada di luar dirinya. Teologi berada dalam dan milik Gereja. Dia mencari pemahaman, dan pemahaman tersebut mendapatkan peneguhan dari kuasa mengajar Gereja. Gereja senantiasa membutuhkan suatu teologi yang sehat, namun teologi membutuhkan pula suatu suara yang hidup dari kuasa mengajar Gereja. Keduanya saling membutuhkan satu sama lain, dalam pengabdian bagi kebenaran dan kebebasan.
Joseph Ratzinger sendiri memang menilai bahwa tidak jarang para teolog menempatkan diri sebagai sumber ajaran Gereja, kuasa mengajar Gereja tidak ditempatkan sebagai sumber acuan. Opini publik lebih dibangun, dan opini ini dipengaruhi oleh kerja media yang lebih mau mengorek tema-tema menarik dan kontroversial, tanpa sungguh mau masuk dan memahami problematik sebenarnya secara utuh. Maka teologi harus dikembalikan pada tugasnya sebagai sarana bantu bagi kuasa mengajar Gereja, bukan malahan membatasi ruang kuasa mengajar.
Dalam dokumen "Instruksi akan panggilan gerejani para teolog" tersebut, teologi ditempatkan sebagai sesuatu yang penting bagi Gereja, terlebih di tengah situasi perubahan arus kerohanian dan budaya dewasa ini, peran teologi dirasakan semakin penting. Melihat kepentingan ini Kongregasi Ajaran Iman menyatakan keprihatinan akan beberapa tendensi refleksi teologis yang dikembangkan beberapa teolog, yang dalam dokumen tersebut disebut sebagai ‘pembangkang', dan karenanya Kongregasi Ajaran Iman lalu mengundang mereka kembali pada arus ketaatan pada tradisi dan ajaran Gereja, terlebih di dalamnya, kesetiaan akan magisterium Gereja, agar mereka berada dalam garis Gereja dalam mengembangkan teologi sebagai ajaran iman dalam pelayanannya pada umat Allah. Demi kepentingan itu, pimpinan Gereja memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi agar arah serta muatan refleksi teologis para teolog tetap sesuai dengan tujuan dan perannya di tengah hidup dan ajaran Gereja.
Akan tetapi instruksi dari Kongregasi Ajaran Iman pada para teolog tersebut mendatangkan reaksi. Tidak lama setelah dikeluarkan 205 profesor teologi dari Jerman, Swiss dan Austria mengeluarkan tanggapan kritis, terlebih karena instruksi tersebut dipandang terlalu menuntut loyalitas para teolog pada kuasa mengajar Gereja, namun tanpa disertai kesediaan untuk membuka pintu dialog antara Roma dengan para teolog, sesuatu yang bertentangan dengan semangat Vatikan II. Mereka para teolog tidak mau dicurigai, atau dianggap cenderung membangkang, dan karenanya dibatasi ruang kebebasan refleksi intelektualnya. Memang tidak jarang ada konflik atau perbedaan pandangan antara hierarki dengan teolog, akan tetapi para teolog tersebut menyayangkan kalau solusi atas persoalan tersebut lalu hanya berupa tuntutan kesetiaan sepihak, teolog pada hierarki, kuasa mengajar Gereja, tanpa keterbukaan pihak hierarki atas pandangan dan suara teolog yang menyatakan keprihatinannya atas situasi Gereja.
Sementara itu teolog terkemuka dari Brasil, Leonardo Boff, ketika mengomentari dokumen tersebut membenarkan adanya krisis dalam teologi paska Vatikan II, akan tetapi disayangkannya bahwa pemecahan yang diajukan Kongregasi Ajaran Iman adalah ajakan untuk mengukuhkan kembali ketaatan pada magisterium Gereja. Hal itu malahan akan membawa Gereja kembali ke masa lalu, ataukah ini berarti bahwa di tengah krisis yang dihadapi Gereja dalam menghadapi tantangan zaman, lalu Gereja kembali pada kenangan akan masa lalu? Pertanyaannya lalu, apakah kebenaran hanyalah milik eksklusif mereka yang berada dalam posisi magisterium Gereja, magisterium yang terpisah dari realitas nyata kehidupan umat beriman?

10. Bagaimana hubungan Teologi dan Filsafat menurut Ratzinger
Maka pertanyaan lalu perlu diajukan adalah apakah teologi menurut Joseph Ratzinger. Teologi baginya adalah suatu tindakan iman yang tumbuh dari struktur ladang kehidupan kristiani. Termuat di dalamnya kultur Eropa, yang tentu kekayaan budaya dunia juga berperan dengannya, iman alkitabiah dan rasionalitas Yunani. Iman di sini tidak bisa dilepaskan dari aspek penalaran: penalaran tumbuh dalam dan melalui iman, karenanya iman terefleksikan sebagai suatu penalaran, dan penalaran itu mensyaratkan adanya iman. Teologi adalah suatu 'sacra scientia' (ilmu pengetahuan suci), yang berpangkal pada iman, dan bukan sekedar suatu pengetahuan biasa, yang hanya didasarkan pada penalaran logika. Teologi memang berangkat dari refleksi intelektual, sehingga bisa dipandang 'seolah-olah' iman adalah produk suatu penalaran, karenanya membangun kembali relasi erat antar filsafat dan teologi, seperti pada masa awal kristianisme, menjadi harapannya. Gembala, pendoa dan filsuf dulunya merupakan bagian dari gambaran wajah Gereja, dalam pengertian dewasa itu bahwa filsafat merupakan upaya untuk membangun pengertian iman. Figur yang dibangun para filsuf adalah gambaran mengenai Kristus, maka refleksi filosofis berangkat dari pertanyaan akan Kristus. Demikianlah yang terjadi saat filsafat tidak terpisahkan dari teologi. Filsafat karena merupakan suatu upaya nalariah untuk menggali persoalan-persoalan mendasar dalam kehidupan umat manusia, mustinya pula bertanya pula soal kehidupan dan kematian, menggali persoalan mengenai Tuhan dan keabadian. Hanyanya, maka filsafat akan membuka pintu bagi kebenaran.

11. Bagaimana Ratzinger berbicara tentang Filsafat yang membuka diri akan panggilan iman sebagai sumber kebenaran
Pertanyaan dasar yang kemudian diajukannya adalah, jika filsafat adalah pencarian akan kebenaran, bagaimana filsafat dewasa ini membuka diri akan penggalian akan iman sebagai sumber kebenaran? Joseph Ratzinger kemudian memberikan tiga persoalan untuk mencoba menemukan jawab atas pertanyaan tersebut. Pertama, iman bagi filsafat adalah pertanyaan mendasar dalam diri kehidupan manusia, sebagaimana juga kematian. Kedua pertanyaan tersebut memuat problematik mengenai asal dan tujuan hidup. Karena itu baik filsafat maupun teologi perlu berdialog untuk mengupas persoalan pertanyaan-pertanyaan dasar hidup, karena iman bukan hanya problematik teologi. Kedua, pertanyaan tentang iman membawa pada problematik ontologis, yang akhirnya menuju pada pertanyaan mengenai Allah, keberadaan Allah, kuasa serta kebenaran-Nya. Allah bukanlah suatu simbol atau suatu hipotesa pemikiran manusia, Dia adalah kenyataan, dan bukankah filsafat senantiasa hendak menggali kenyataan dan kebenaran, dan karenanya pertanyaan mengenai Tuhan pun harus pula menjadi problematik filosofis, dan dari sinilah keterkaitan dan relasi dengan teologi bisa dibangun. Ketiga, Ratzinger berangkat dari premis bahwa kasih mencari pemahaman, sebab dengan semakin mengenal dan memahami, dia akan semakin mampu mengasihi. Oleh karena itu ada kesalingterkaitan antara kasih dan kebenaran, dan karena kasih itu senantiasa mau mencari pemahaman atau pengenalan, maka dalam kesalingterkaitan antara kasih dan kebenaran termuat suatu kesalingterkaitan antara pengertian dan kebenaran, sesuatu yang sangat penting baik bagi filsafat maupun bagi teologi. Kasih, sesuatu yang sentral dalam kristianitas adalah suatu 'eros' bagi kebenaran, dan di dalamnya filsafat dan teologi bisa bertemu.
Dengan memberi tekanan akan relasi antara teologi dan filsafat ini Ratzinger hendak menunjukkan bahwa iman senantiasa mencari pemahaman, penalaran. Iman memang mendorong untuk berpikir, berrefleksi. Kristianitas sejak awal senantiasa bergelut dengan rasionalitas; kristianitas dengan demikian bukanlah suatu mitos, ideologi ataupun suatu prinsip abstrak. Teologi pun mendasarkan diri pada refleksi atas Logos. Teologi adalah sesuatu yang konkret, bahwa logos Allah merupakan sesuatu yang konkret dari Allah. Teologi dengan demikian berbicara tentang iman yang konkret, sekaligus ketaatan iman yang konkret. Teologi semacam ini menjadi berarti karena adanya misteri inkarnasi, bahwa Allah berkat inkarnasi menjadi dekat pada manusia dan menyatakan diri-Nya. Dengan demikian Ratzinger di sini memberi tekanan akan primat logos, penalaran budi sebagai refleksi iman dalam teologi.
Saat berpidato di Collège des Bernardins, Paris, 12 September 2008, Benediktus XVI dengan menelusuri sejarah teologi barat memperlihatkan hasrat „quaerere Deum“, gerak hati untuk mencari yang abadi dan final, membawa orang untuk sampai pada pencarian akan Allah, melangkah dari segala apa yang bukan mendasar menuju pada yang esensial, mendasar, pokok dan utama; mencari yang definitif di balik segala yang sementara. Désir de Dieu memuat di dalamnya amour des lettres. Memang demikianlah, dambaan akan Allah melibatkan nyala kasih serta hasrat akan pengetahuan, sehingga eruditio, pembinaan intelektual, menjadi bagian tak terpisahkan dari olah iman, sehingga refleksi teologis yang sungguh dan mendalam adalah sesuatu yang fundamental dalam kehidupan Gereja. „Siap-sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungjawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungjawaban dari kamu..“ (1 Ptr 3,15), karenanya menurut Paus adalah dasar motivasi bagi bangunan refleksi teologi. Teologi adalah upaya manusia untuk mempertanggungjawabkan iman akan Allah.
Teologi memang tidak bisa dipisahkan dari iman, bahkan berangkat dari iman. Akan tetapi harus dipahami bahwa penalaran manusia, penalaran yang mencari pendasaran dan pemahaman iman, terbatas, maka menjadi bahaya jika buah penalaran dimutlakkan. Penalaran teologis menyatakan realitas kemutlakkan, kebenaran Ilahi. Teologi dengan demikian tidak berangkat dari teks tertutup, namun bertanya akan kebenaran, dan karenanya menempatkan manusia sebagai pihak yang memuat kebenaran. Persoalan terjadi jika teologi hanya ditempatkan dalam konteks ruang akademis, demikian Ratzinger melihatnya. Problem ini terjadi jika kemudian penalaran ditempatkan secara positivistis, penalaran logis ilmiah belaka, atau dalam ruang sempit spesialisasi. Teologi dengan demikian perlu diletakkan dalam konteks realitas, baik itu realitas Gereja maupun realitas kehidupan umat manusia. Di dalamnya termuat kajian historis kritis, baik atas teks maupun atas tradisi, menelaah orthopraxie sebelum orthodoxie, sehingga dengannya orang terdorong untuk mencari sungguh apakah kebenaran itu. Dengan mencoba untuk mengkaitkan kembali iman dengan akal budi seperti ini, Ratzinger ingin menggarisbawahi bahwa teologi jangan sampai terjebak hanya pada persoalan antropologis belaka, apalagi kemudian menerapkan prinsip rasionalisme teknis, yang kecenderungan menganggap kehidupan rohani sebagai sesuatu yang irasional.



Catatan:
Semua ulasan ini dikutip dari tulisan Dr. T. Chrispurwana Cahyadi, SJ untuk mahasiswa semester I jurusan Teologi STF Driyarkara tahun kuliah 2009/2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar