Laman

Kamis, 07 Oktober 2010

Karismatik

GERAKAN KARISMATIK DALAM GEREJA KATOLIK
oleh
Sr. Irmina Elu, PRR
Wihelmus Yornes O. Panggur, OFM
dan Bonifasius, PR

Abstrak
Dimensi pneumatologis atau gerak Roh Kudus dalam Gereja telah membuka cakrawala baru dalam penghayatan iman umat Kristiani zaman ini. Aneka bentuk pengungkapan iman adalah kenyataan yang menunjukkan bahwa Roh Kudus bekerja secara istimewa dan ‘khas’. Gerakan Karismatik merupakan salah satu bentuk populer penghayatan iman umat Kristen. Roh Kudus mendapat tempat terpenting. Akan tetapi, banyak polemik di seputar gerakan ini mengharuskan Gereja Katolik, juga beberapa Gereja Reformasi, untuk menyelidiki, mengajarkan, memutuskan, mendampingi, dan membimbing jemaatnya ke jalan yang benar. Kehausan rohani jemaat modern, dengan perlahan dan pasti, dapat terpenuhi dalam Gerakan Karismatik. Sikap kritis-apostolik Gereja Katolik tetap menjadi pegangan jemaat dalam komunitas atau persekutuan doa karismatik.

Kata-kata kunci: Gerakan, Karismatik, Roh Kudus, Gereja Katolik, Gereja Reformasi, pneumatologis, pembaruan.

1. Pengantar
Jemaat Kristiani, baik Gereja Katolik maupun Gereja Reformasi, sangat percaya akan penyertaan Roh Kudus dalam kehidupan nyata mereka. Gerakan Karismatik menunjukkan karya Roh Kudus yang luhur dan perlu mendapat tempat yang utama dalam seluruh perayaan iman. Pada titik ini, Gerakan Karismatik mendapat ‘perlawanan’ dari hierarki Gereja. Penghayatan dan pengungkapan iman dalam berbagai bentuk doa karismatik akhirnya menciptakan ‘jurang’ antara ‘karisma khusus’ dengan hierarki Gereja Katolik. Tidak dapat disangkal bahwa gerakan ini dapat membawa tiga ekstrem. Gereja Katolik sebagai sebuah lembaga hierarkis-institusional harus berhadapan dengan Gerakan Karismatik dalam Gereja-Gereja Reformasi yang sangat menarik perhatian jemaat yang haus akan kebutuhan rohani. Di pihak lain, Gereja Katolik juga mendapat tantangan dari kelompok-kelompok karismatiknya sendiri yang terlalu menekankan dimensi pneumatologis dalam diri mereka. Oleh karena itu, ada tiga pertanyaan pokok, sebagai rumusan masalah, yang ingin kami soroti dalam makalah ilmiah ini, yaitu: 1) Bagaimana sejarah Gerakan Karismatik dalam Gereja Katolik dan Gereja Reformasi?; 2) Apakah Gerakan Karismatik dapat menjadi sebuah faktor dan sekaligus bentuk ‘reformasi’ dalam Gereja Katolik?; dan 3) Bagaimana sikap resmi Gereja Katolik terhadap penghayatan dan praktik Gerakan Karismatik Katolik dewasa ini?


2. Gereja Katolik dan Gerakan Karismatik
Gerakan Karismatik dalam Gereja mempunyai tahap-tahap historis yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Jemaat Perdana telah menerima dan mewarisi iman kepada Gereja sampai sekarang ini. Dalam rentang waktu itu, Roh Kudus tetap hidup dengan dan dalam berbagai macam konteks hidup jemaat (locus teologicus) sepanjang zaman.

2.1 Sejarah Karismatik
2.1.1 Dari Gereja Perdana Sampai Gereja Reformasi
Gerakan Karismatik tidak muncul sebagai sebuah gerakan revolusioner. Ia berkembang dengan sendirinya sejak zaman Gereja Perdana didirikan. Para jemaat perdana telah menerima ‘anugerah’ (Yunani: charisma) Roh Kudus secara berlimpah-limpah. Roh itu membimbing perjalanan Gereja Perdana melewati zaman penganiayaan dan penderitaan. Jemaat yang telah dibaptis dengan Roh Kudus tidak mengalami kehilangan iman. Dengan situasi penuh cobaan itu, iman jemaat malah semakin teguh dan kokoh. Para martir tidak takut mengorbankan diri mereka untuk mempertahankan iman hanya karena kekuatan Roh dalam diri mereka. Berbagai pengalaman ini tidak pernah mematikan karisma Roh yang telah mereka terima. Perlu diingat bahwa sepanjang abad-abad pertama, ‘karisma khusus’ berkembang dengan sendiri di kalangan jemaat. Gereja tidak terlalu pusing dengan penghayatan jemaat terhadap ‘anugerah istimewa’ yang tersebar luas itu.
Memasuki abad pertengahan, dimensi pneumatologis dalam Gereja mulai mendapat perhatian khusus. Gerakan Reformasi dalam Gereja Katolik dimulai oleh Martin Luther. Alasan pokok dan paling mendasar adalah kebobrokan Gereja yang terlalu bersifat hierarkis-institusional dan sekularisasi. Menurut para reformator, sifat Gereja Katolik yang terlalu hierarkis akan mematikan Roh yang sebenarnya telah dikaruniakan secara istimewa dalam setiap jemaat. Realitas yang terjadi dalam Gereja tidak menunjukkan bahwa Gereja Katolik dipimpin oleh Roh Kristus. Dengan demikian, secara tidak langsung, para reformator berpendapat bahwa Gereja tidak memerlukan hierarkis yang kaku.
Pengaruh Lutheranisme sangat kuat dan terus berkembang. Secara definitif, Gereja Reformasi terpisah dari Gereja Katolik, termasuk bentuk dan penghayatan ‘anugerah khusus’ Roh Kudus. Gereja Katolik menghayati karisma jemaat dalam ikatan Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik. Karismatik dialami dalam communio (bersama) dan dirayakan bersama seluruh Gereja. Dalam Gereja Reformasi, karismatik dapat dialami oleh siapa saja. Mereka sangat menekankan aspek pneumatologis. Setiap orang dapat merayakan imannya dalam bentuk penghayatannya sendiri sesuai kesepakatan kelompok. Manusia yang beriman, yang telah dibaptis oleh Roh, tidak membutuhkan mediasi insani. Dua kelompok ini lantas bertahan, hidup, dan berkembang dengan cirinya masing-masing sampai memasuki abad ke-20.
2.1.2 Gerakan di Dalam
Sejak Reformasi Luther, tidak ada peristiwa penting dan heroik yang berkaitan langsung dengan Gerakan Karismatik. Baik dalam Gereja Katolik maupun dalam Gereja Reformasi, Gerakan Karismatik hanya menjadi kekayaan hakiki Gereja secara umum dengan praktek dan penghayatan yang berbeda.
Pada bulan Agustus 1966 diadakan Konvensi Nasional Gerakan Cursillo. Dalam konvensi itu hadir beberapa dosen Katolik dari Universitas Duquesne di Pittsburgh-Amerika Serikat. Seorang mahasiswa katolik bernama Steve Clark memperkenalkan sebuah buku yang ditulis oleh seorang pendeta Pentakostal, David Wilkerson. Dalam buku itu, Pendeta Wilkerson menulis kisah pertobatan sekelompok penjahat (pengedar narkoba dan preman). Kisah nyata yang inspiratif itu menggugah seluruh peserta konvensi karena secara tidak langsung terpecik karya Roh Kudus atas diri mereka mereka. Segera setelah berakhirnya konvensi itu, para dosen membentuk suatu kelompok atau persekutuan doa. Kerinduan para dosen akan Yesus membentuk mereka menjadi orang-orang yang tekun berdoa dan berharap. Kehidupan iman mereka semakin tumbuh dan berkembang dengan kuat ketika seorang imam Episkopal bersedia mendampingi perjalanan rohani mereka. Berawal dari sebuah kelompok kecil, dengan ‘kuasa’ Roh Kudus, gerakan ini berkembang pesat ke seluruh dunia, baik dalam Gereja Katolik Roma maupun dalam Gereja-Gereja Reformasi.

2.2 Sejarah Karismatik dalam Gereja Katolik dan Gereja-Gereja Reformasi di Indonesia
2.2.1 Karismatik dalam Gereja Katolik di Indonesia
Secara resmi, Gerakan Karismatik Katolik di Indonesia muncul pada bulan Mei tahun 1976. Ketika itu Pastor Paul O’Brien, SJ dari Bangkok dan Pastor H. Schneider, SJ dari Manila diundang oleh Bapak Uskup Agung Jakarta (Alm) Mgr. Leo Soekoto, SJ untuk memberikan ceramah dan Seminar Hidup dalam Roh (Life in The Spirit) bagi para biarawan dan kaum awam. Seminar yang disajikan dalam Bahasa Inggris tersebut berhasil menarik kira-kira 150 orang. Sebetulnya, sebelum diadakan seminar nasional itu, Sr. Bernadette, RGS telah memperkenalkan doa persekutuan karismatik di Susteran Gembala Baik, Jakarta. Hanya saja kelompok doa itu kecil dan terbatas.
Setelah rangkaian seminar itu, kelompok-kelompok doa mulai terbentuk. Jumlah anggota biasanya mencapai 20 orang. Mereka semakin bergerak maju dengan mencoba mengadakan Seminar Hidup Baru dalam Roh Kudus dalam Bahasa Indonesia. Usaha mereka berhasil. Mereka berhasil mengumpulkan 80 peserta dari seluruh Kota Jakarta.
Selain di Jakarta, kelompok-kelompok doa karismatik telah muncul di Bogor dan Malang. Romo Yohanes Indrakusuma, OCarm menjadi perintis kelompok doa di daerah Malang dan sekitarnya. Sementara itu, kelompok doa yang belum lama muncul di Bogor, pada akhirnya tidak berjalan kerena perintisnya, Pastor R. Makmun Muchtar, OFM meninggal akibat sebuah kecelakaan lalu lintas.
Kelompok doa karismatik menebarkan benih hingga tanah Bandung. Sr. Yohana, OCD, pemimpin biara kontemplatif Karmel di Lembang, memperkenalkan cara-cara berdoa karismatik. Langkah Sr. Yohana terhenti ketika pemimpin Karmel dari Roma datang menemuinya. Ia disuguhkan dua pilihan, yaitu tetap tinggal dalam jalur spiritualitas Karmel atau pergi dari Indonesia. Sr. Yohana memutuskan untuk pergi meninggalkan Indonesia dan menuju Amerika Serikat. Perlu diketahui bahwa Sr. Yohana adalah penggagas awal agar Pastor O’Brien, SJ dan Pastor H. Schneider, SJ berbicara mengenai karismatik.
Kuncup-kuncup kelompok doa itu mulai merekah di Jakarta. Pastor L. Sugiri, SJ yang menjadi moderator kelompok doa di Jakarta meminta bantuan kepada mereka yang lebih dahulu terjun dalam bidang tersebut untuk mengadakan seminar di parokinya, Mangga Besar. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok doa karismatik mengalami perkembangan yang begitu pesat sampai saat ini. Akan tetapi, gerakan ‘suci’ ini tetap tidak luput dari berbagai kritik dan cobaan, baik dari Gereja Universal maupun dari anggota kelompok sendiri (bagian ini akan diulas pada bagian ketiga tulisan ini).
2.2.2 Karismatik dalam Gereja-Gereja Reformasi di Indonesia
Dalam kurun waktu sepuluh tahun (sekitar tahun 1965-an sampai 1975-an), Gerakan Karismatik berkembang perlahan namun pasti dalam Gereja-Gereja Protestan anggota PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia). Gerakan atau persekutuan doa mereka berkembang seiring dengan perayaan kebaktian-kebaktian rohani mereka. Persekutuan yang dibentuk biasanya berdasarkan pekerjaan yang sama, keluarga, atau dalam satu perusahaan. Gereja-Gereja Reformasi (PGI) juga giat mengundang pengkotbah-pengkotbah luar negeri dengan style doa mereka yang khas. Dengan keyakinan dan tendensi yang kuat terhadap dimensi pneumatologis dalam Gereja, beberapa jemaat mulai membentuk kelompok doa mereka sendiri.

3. Gerakan Karismatik: Sebuah Model ‘Reformasi Baru’ dalam Gereja Katolik
3.1 Pembaruan yang Belum Selesai
Selepas pengalaman pahit di abad pertengahan, Gereja Katolik digambarkan sebagai organisasi atau lembaga institusional yang hidup dalam pembaruan yang tiada henti, ecclesia semper reformanda (Gereja yang terus memperbarui diri). Konsili Trento (1545—1563) memang mencapai apa yang dicita-citakan. Akan tetapi, secara tegas, konsili ini membawa ekses-ekses yang menciptakan ‘jurang’ yang dalam antara Gereja Katolik dengan Gereja-Gereja Reformasi. Konsili ini merekonstruksi sistem organisasi gerejawi (dari lingkungan kepausan sampai daerah-daerah misi) secara konsisten. Namun, konsep extra ecclesia nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan) yang telah disematkan kepada Gereja-Gereja Reformasi tidak berubah. Secara ketat, Gereja katolik telah menerima paham intoleransi dengan mereka. Sejak itu, Gereja Katolik tidak lagi berurusan langsung dengan ‘domba-dombanya’ yang telah pergi itu.
Kini, Gereja Roma memusatkan perhatian pada ‘Reformasi Katolik’. Pengalaman historis (sejak Konsisli Trento sampai menjelang Konsili Vatikan II) tidak menunjukkan keistimewaan karisma Roh di kalangan awam Katolik secara terang-terangan. Karisma awam adalah anugerah yang belum patut disyukuri sebagai rahmat Gereja. Kehidupan karisma jemaat tidak mendapat perhatian Roma yang saat itu sibuk membenahi tubuh hierarkisnya.

3.2 Gerakan Karismatik: Sebuah ‘Reformasi Baru’ dalam Gereja Katolik?
Belum sempat Gereja membaharui dirinya secara utuh, Gereja Katolik harus menghadapi serangan dari ‘bawah’. Dalam Gereja Katolik sendiri, banyak persekutuan doa karismatik tetap loyal untuk berada dan bernaung di bawah asuhan pejabat resmi gereja. Akan tetapi, dengan berbagai alasan, banyak jemaat yang akhirnya ‘lari’ dan membentuk gerejanya sendiri. Sebagai contoh, beberapa tokoh karismatik Katolik bersama pengikut mereka meninggalkan Gereja dan membentuk umat tersendiri (misalnya: kelompok ‘Sungai Yordan’ yang berafiliasi dengan Gereja Bethel). Alasan kepergian mereka adalah sebagai berikut.
• Kekurangpercayaan umat Katolik dan para imam terhadap gerak ‘Roh’ dalam diri setiap pribadi. Menurut mereka, setiap pribadi diberi anugerah yang khusus untuk beriman.
• Ketidakpuasan mereka atas tafsiran Gereja akan Kitab Suci yang terlalu bergantung pada Magisterium. Menurut mereka, Roh Kudus yang ada dalam setiap pribadi memampukan orang untuk menafsirkan Kitab Suci sesuai kebutuhan masing-masing. Filsafat dan/atau teologi menjadi sama sekali tidak berguna dengan adanya Roh Kudus itu sendiri.
• Sebagai organisasi, Gereja terlalu sibuk dengan dengan soal-soal organisatoris, struktural, sosio-ekonomis, dan bahkan kekuasaan. Dengan demikian, kehidupan rohani umat menjadi terbengkelai.
• Kelompok doa karismatik yang independen mampu mengisi kekosongan rohani jemaat dengan penyadaran akan kehadiran Roh. Kebutuhan rohani umat yang urgen dan aktual dapat segera terjawab dalam doa karismatik.
Dengan pertimbangan rasional yang matang dan logis, alasan-alasan di atas tidak keliru sama sekali. Lebih parah lagi, banyak jemaat Katolik yang menomorsatukan doa karismatik dan mengesampingkan Perayaan Ekaristi. Padahal, salah satu dokumen resmi Gereja, Lumen Gentium artikel 11, menyatakan bahwa Ekaristi adalah sumber dan puncak seluruh hidup Kristiani. Karismatik adalah salah satu praktik devosional yang semestinya mendorong iman umat untuk merayakan Ekaristi dengan lebih baik. Dengan demikian, Gereja mempunyai panggilan yang luhur sekaligus berat untuk menjawab dan menyelesaikan problem ini.

3.3 Cacat-Cacat dalam ‘Reformasi Baru’
Cacat-cacat Gerakan Karismatik dapat dengan mudah diperhatikan dalam perayaan doa karismatik itu sendiri. Pola tingkah laku jemaat Gereja Reformasi lebih didorong oleh beberapa kompleks kultural, antara lain kehausan rohani, reproduksi (pewartaan dan evangelisasi), kenyamanan spiritual, gerakan (ekspresi atau ungkapan iman yang bebas), bertumbuh (dengan dasar Kitab Suci), kesehatan (karismatik dapat menyembuhkan kelemahan fisik dan spiritual). Dengan menekankan dan mengandalakan kemampuan kodrati untuk menangkap sesuatu yang adikodrati, manusia sebenarnya tidak sanggup memahami dan merasakan kehadiran Roh Kudus.
Praktik doa karismatik adalah ungkapan iman yang lebih banyak didasarkan pada kepuasan emosi dan sarana-sarana psikologi massa. Gejala pemenuhan kebutuhan rohani yang instan akan segera tampak, misalnya dengan menyelesaikan masalah dengan tafsiran Kitab Suci yang subjektif dan cenderung dipaksa-paksakan. Hal ini tentu saja bukan iman yang otentik akan yang Ilahi. Mereka merasa bahwa tata dan perangkat liturgis, sebagaimana tampak dalam ritus Gereja Katolik Roma (Latin), adalah produk manusiawi yang malah menghambat gerak Roh.
Perkembangan Gerakan Karismatik dapat jatuh ke dalam aliran pentakostalisme ekstrem. Gerakan Karismatik yang berkembang ’liar’ dan kesadaran iman yang dangkal akan menghilangkan devosi-devosi Katolik lain, misalnya: Doa Rosario, Jalan Salib, novena-novena, dan sebagainya. Gereja Katolik tidak hanya memiliki kekayaan devosional dalam bentuk persekutuan doa karismatik. Jika dibandingkan dengan devosi-devosi lainnya, doa karismatik hanya salah satu ungkapan iman saja. Roh Kudus yang otentik dapat dirasakan dalam doa karismatik dan di semua doa devosional yang lain. Roh itu juga akan menuntun jemaat dan mempersatukan mereka dalam Gereja Kristus yang satu.
Stigma yang dilekatkan pada Gerakan Karismatik merupakan tanggung jawab Gereja Katolik. Sebagai sebuah persekutuan umat beriman (communio), Gereja harus mengakui dengan rendah hati akan kekurangperhatiannya terhadap gerak ‘Roh’ atau dimensi pneumatologis jemaat. Oleh karena itu, pengalaman Reformasi pada abad pertengahan dan berbagai gerakan ‘Reformasi Baru’ pada era modern ini adalah objek refleksi kritis Gereja atas gerak Roh Kudus yang Mahakuasa dan ajaib itu.

4. Ajaran Resmi Gereja Katolik tentang Gerakan Karismatik
4.1 Ajaran Gereja Katolik
Pada awal munculnya Gerakan Karismatik, ada berbagai sikap dari kalangan Hirarki Gereja Katolik dalam menanggapinya. Ada kelompok yang menerima gerakan ini, dengan mendukung adanya ekumenisme, tetapi ada juga yang menolak gerakan ini. Banyak pihak sangat antusias untuk menerima kebijakan ini, termasuk dan terutama tiga paus, yakni Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II, dan Paus Benediktus XVI.
Setelah melewati perjuangan yang panjang dan berat, Gerakan Karismatik akhirnya diterima sebagai salah satu Gerakan Doa dalam Gereja Katolik. Karismatik adalah bentuk pengungkapan iman yang merupakan gerak Roh Kudus yang otentik. Takhta Suci mengangkat dan menempatkan seorang kardinal sebagai penasihat Episkopal untuk mendampingi pembaruan Karismatik Katolik. Beliau adalah Uskup Agung Paul Josef Cordes. Tentang Gerakan Karismatik, ia menulis sebuah refleksi sebagai berikut.
‘Tanda-tanda terdalam pembaruan Gereja Kristus adalah kekudusan dan evangelisasi. Ini adalah buah-buah dari karya Roh Kudus dalam dunia saat ini. Roh Kudus memberikan karunia-karunia kepada anak-anak Allah, agar mereka bisa menjadi saksi-saksi yang lebih efektif dan alat-alat dalam tangan Allah demi pemenuhan misi Gereja. Dunia membutuhkan saksi-saksi yang kudus, yang hidupnya mewartakan kenyataan yang mereka katakan. Pembaruan harus menjadi sekolah bagi semua orang kudus semacam ini di setiap penjuru dunia dan dalam setiap keadaan manusia.’

Refleksi ini menunjukkan bahwa Gerakan Karismatik membantu umat yang terlibat dalam Gerakan ini, untuk mengalami pertobatan yang disebut dengan pertobatan radikal dalam Roh. Inilah juga yang merupakan salah satu aspek pengajaran dalam Gereja.
Gereja Katolik mengakui kehadiran nyata Roh Kudus dalam kehidupan umat beriman. Dokumen Konstitusi Dogmatik Gereja, Lumen Gentium art. 12 mengatakan bahwa ‘Tidak melulu hanya melalui sakramen dan pelayanan gereja saja Roh Kudus itu menyucikan manusia, memimpin mereka, dan memperkaya mereka dengan kebaikan-Nya... Ia juga membagikan karunia khusus diantara kaum beriman dari segala tindakan. Dengan karunia ini, Ia menguatkan dan mempersiapkan mereka untuk menjalankan berbagai tugas dan tempat untuk memperbaharui dan membangun Gereja.’ Isi dokumen ini ingin menegaskan bahwa Roh Kudus yang diterima oleh umat Katolik tidak hanya melalui Sakramen-Sakramen yang diterima, tetapi juga melalui cara lain. Cara lain itu dapat ditempuh melalui doa-doa seperti Gerakan Karismatik. Melalui Karismatik, diyakini bahwa umat yang terlibat dalam gerakan ini akan dipenuhi oleh Roh Kudus. Upaya mereka bahkan mendapat dukungan dari Yohanes Paulus II. Yohanes Paulus II mengatakan:
‘Karena Gerakan Karismatik, sejumlah orang Kristiani, laki-laki dan perempuan, orang-orang muda dan orang-orang dewasa telah menemukan kembali pentakosta sebagai sebuah kenyataan yang hidup dalam kehidupan mereka setiap hari. Saya berharap bahwa spiritualitas Pentakosta akan menyebar dalam Gereja sebagai sebuah dorongan yang diperbarui untuk doa, kekudusan, kesatuan dan pewartaan.’
Dari ungkapan ini, secara tidak langsung dapat dimengerti bahwa Paus Yohanes Paulus II mengizinkan adanya Gerakan Karismatik dalam Gereja Katolik. Meskipun demikian, beliau sangat menekankan tugas hierarki Gereja untuk tetap mendampingi laju perkembangan gerakan ini. Yohanes Paulus II memberikan nasehat agar para pendamping, pemimpin, dan jemaat persekutuan doa karismatik agar senantiasa melakukan disscerment yang matang dan refleksi diri yang mandalam serta mengingat semua pengalaman historis yang telah terjadi.

4.2 Tanggapan Resmi Gereja Katolik
Secara resmi, Gereja Katolik menanggapi Gerakan Karismatik sebagai anugerah Roh Kudus yang paling luhur. Oleh karena itu, Gereja Katolik memberikan tanggapan kritis-apostolik yang mendukung dalam dokumen-dokumen universal dan lokal.

4.2.1 Dokumen Konsili Vatikan II Lumen gentium art. 12 dan Apostolicam actuositatem
Gereja Katolik menerima dan mengakui bahwa dimensi pneumatologis atau gerak Roh Kudus ada dan bekerja dalam diri orang-orang di luar tubuh hierarki Gereja. Keyakinan terhadap pentingnya dimensi ini dapat ditemukan dalam pengalaman para jemaat perdana dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Tuhan telah menganugerahkan kepada orang-orang pilihan-Nya suatu “Rahmat Khusus” atau karisma (1 Kor. 12:11). Roh Kudus, sebagaimana yang hadir dalam peristiwa Pentakosta, datang dan bersemayam dalam diri umat Kristiani sejak pembaptisan (bdk. 1 Kor.12:13). Roh yang sama juga menguduskan, membimbing, dan menghiasi Gereja dengan rupa-rupa karunia-Nya.
• Setiap umat beriman menerima Roh Kudus dan mengejahwantahkan-Nya dalam bentuk yang khas, baik yang sangat mencolok maupun yang sederhana. Setiap karisma harus disyukuri dalam persekutuan kasih gerejawi.
• Karisma yang dimiliki, bagaimanapun bentuk dan penghayatannya, harus sesuai dengan maksud dan suara Roh Kudus yakni demi kepentingan iman seluruh Gereja (1 Kor. 12:7). Karisma bukanlah milik pribadi yang darinya diperoleh hasil atau keuntungan duniawi.
• Pimpinan Gereja berkewajiban untuk menilai, mengawasi , menjaga, dan mendampingi seluruh kehidupan dan gerakan “Rahmat Khusus” itu. Kita harus mengerti bahwa tugas hierarki dalam Gereja bukan memadamkan “karya Roh” itu, melainkan menguji semuanya dan mempertahankan yang baik (1 Tes. 5:12, 19—21).
4.2.2 Tanggapan Dekrit Kepausan dan Gereja Lokal Indonesia tentang Karismatik
• Pada 14 September 1993, Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan Dekrit Pontificium Pro Laicis (melalui Dewan Kepausan Untuk Kaum Awam ) nomor 1563/AIC-73 tentang pengesahan Lembaga Pembaharuan Karismatik Katolik. Dengan ini, Paus memberi kuasa kepada seluruh Uskup sebagai gembala umat untuk menjamin dan mendampingi secara intensif Gerakan Karismatik. Dengan demikian, pembaruan Gereja yang terus-menerus dan interaksi semua kelompok pembaruan dalam seluruh Gereja tumbuh dan berkembang dalam sikap saling mempengaruhi antar jemaat beriman. Semua anggota Tubuh Mistik Kristus (Gereja) berada di dalam persekutuan dengan Tuhan dan saling membagikan kebaikan. Kebaikan itu berasal dari satu Roh Pembaru sehingga Gereja tetap bersatu dan diperkaya (bdk. Efesus 4: 3-6 ).
• Di Indonesia, Gerakan Karismatik telah mendapat pengakuan resmi dari MAWI (sekarang: KWI) dengan mengeluarkan dokumen Pedoman Pastoral Para Uskup Indonesia mengenai Pembaruan Karismatik Katolik. Isi dokumen menyatakan bahwa Gerakan Karismatik merupakan gerakan pembaruan yang otentik dalam Gereja Katolik.

5. Penutup
Gerakan Karismatik ditandai dengan kemanisan dan kepahitan yang luar biasa dalam perjalanan historis Gereja Kristus. Kita dapat mengatakan bahwa dimensi kodrati telah banyak mengambil peran dalam pemahaman dan penghayatan Gerakan Karismatik. Pada abad pertengahan, pandangan yang keliru tentang ’gerak Roh’ telah membawa perpecahan yang menyedikan dalam tubuh Gereja Kristus. Gereja menjadi dua: Gereja Katolik Roma dan Gereja Refomasi. Selanjutnya, Gereja Katolik yang secara definitif sudah terpisah dengan Gereja Reformasi harus menghadapi ‘Reformasi Baru’. Banyak umat Katolik yang ‘tersesat’ oleh gerakan ‘karismatik’-nya. Pada titik ini, kita mesti menyadari bahwa ada ketidakseimbangan dalam penghayatan dimensi pneumatologis dan dimensi Kristologis (Gereja yang dipimpin oleh hierarki). Dengan kata lain, dimensi communio adalah jalan tengah yang harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh oleh Gereja Katolik untuk menyatukan kedua dimensi luhur dan suci itu. Dimensi communio mencakup semua relasi, baik relasi intern maupun relasi ekumenisnya dengan Gereja-Gereja Reformasi. Dengan demikian, ajaran resmi Gereja yang seiring dengan pendampingan yang intensif dari pejabat resmi Katolik adalah tugas pokok yang harus dilakukan Gereja untuk sebuah pembaruan karismatik yang total.






























Daftar Pustaka:

Dokumen Konsili Vatikan II (penerjemah: R. Hardawiryana)., Jakarta: Obor, 1993.
Heuken, Adolf. Ensiklopedi Gereja. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991.
Konferensi Wali Gereja Indonesia. Aneka Karunia Satu Roh: Surat Gembala Mengenai Pembaharuan Karismatik Katolik. Jakarta: Obor, 1993.
Kristiyanto, Eddy A. Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Ramadhani, Deshi. Mungkinkah Karismatik Sungguh Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Wilfred, J. Samuel. Kristen Karismatik: Refleksi atas Berbagai Kecenderungan Pasca-Kharismatik. Jakarta: Gunung Mulia. 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar