Laman

Selasa, 27 Juli 2010

Analisis Kepribadian Chun Tae-il
Menurut Teori Psikoanalisis Sosial Erich Fromm (1900 - 1980)

1. Pengantar
Seorang buruh Korea akan menyebut nama Chun Tae-il (1948—1970) dengan penuh hormat bila ditanya: siapa orang yang paling berpengaruh dalam hidupmu? Chun Tae-il lahir pada 26 Agustus 1948 dalam keluarga miskin dan bertumbuh-kembang dalam masyarakat yang serba kurang. Penderitaan, kelaparan, penyakit, penindasan majikan, gubuk-gubuk reyot, dan wajah penuh peluh adalah fenomena yang tampak biasa pada orang-orang yang hidup di sekitar dirinya. Ibunya, Yi Sho-sun, adalah sosok seorang wanita pejuang dan gigih mencari cara untuk bertahan hidup. Sang Ibu menjadi pengemis, pengantar barang, tukang cuci, dan sebagainya untuk sekadar memberi makan keenam anaknya. Ayah Tae-il, Chun Sang-soo, adalah seroang tukang jahit pabrik garmen yang hilang asa setelah di-PHK. Kebiasaannya yang buruk yakni akrab dengan minuman keras beralkhohol berdampak buruk pula pada kelangsungan hidup keluarga dan, tentu saja, dengan perkembangan Tae-il kecil. Menjelang dewasa, Tae-il menjadi sosok pribadi yang tegas, memiliki utopia yang tinggi untuk mengubah situasi penderitaan sesama di sekitarnya, khusunya para buruh.
Dalam telaah psikoanalisis sosial Erick Fromm (1900 - 1980), Tae-il adalah pribadi yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa kecil dan ketidaladilan sosial di zamannya. Self-awareness mempengaruhi setiap perjuangannya. Penderitaan para buruh yang disaksikannya selalu menggugah hatinya. Ia selalu mengingat penderitaan di masa lalunya. Dalam benaknya, ia yakin bahwa para buruh yang tertindas itu mampu memvisualisasikan masa depan, sebagaimana dialaminya. Masa depan, yakni kadamaian dan keadilan, merupakan hak-bebas yang dimiliki setiap manusia. Dalam bahasa Fromm, manusia harus mengembangkan potensi dirinya karena memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan. Akan tetapi, ketidakpaduan dalam tubuh para buruh sendiri mengarahkan Tae-il dan perjuangannya kepada potensi keterasingan (alienasi). Tae-il terus berjuang bersama kelompok kecilnya melawan ketidakpedulian negara dan para majikan. Akhirnya, bertolak dari analisis Fromm, saya menyimpulkan bahwa self-realization yang terbatas oleh usia (human dicotomy) dan ketidakterpenuhan 5 kebutuhan eksistensial manusia telah mempengaruhi keputusan akhir Tae-il terhadap hidup dan perjuangannya. Pada 13 November 1970, Chun Tae-il membakar diri saat demostrasi sambil berteriak: ”Patuhi Undang-Undang Perburuhan! Kami bukan mesin!” Akhir yang sangat mengenaskan utnuk pemuda 22 tahun.


2. Kebutuhan Eksistensial vs Penderitaan di Masa Kecil
Masa kecil Tae-il adalah masa paling menentukan dalam pembentukan kepribadian Tae-il. Ia sangat terpengaruh oleh sikap tegas, tekun, tak kenal lelah, kreatif, penuh cinta yang ditemukan dalam diri Sang Ibu, Yi Sho-sun. Pada dasarnya, Tae-il sangat membutuhkan lingkungan psikologis yang sehat untuk memenuhi kebutuhan eksistensialnya sebagai manusia yang semestinya berkembang normal (misalnya: need for relatedness, rootedness, transendence, identity and frame of orientation, frame of devotion, and effectiveness). Akan tetapi, berbagai tekanan, penyiksaan, dan kebiasaan buruk Sang Ayah, Chun Sang-soo, tentu saja bukan suasana yang ideal bagi perkembangan kepribadian Tae-il. Kebutuhan eksistensialnya terganggu. Satu-satunya sosok yang membuat Tae-il merasa at home di tengah kerasnya menjalankan hidup adalah Ibunya. Gambaran Ibunya selalu hadir dalam setiap keputusan ’nekat’ yang diambil Tae-il.
Kesadaran diri (self-awareness) terhadap keterbatasan diri telah dirasakan Tae-il sejak pertama kali ia meninggalkan keluargannya. Ketika berumur 12 tahun, Ibunya melahirkan Soon-duk. Pada hari yang sama, adiknya, Tae-young (3 tahun), meninggal dunia karena campak. Melihat kondisi keluarganya yang sangat menderita, Tae-il memutuskan untuk meninggalkan rumah. Tidak dapat dibayangkan, bocah 12 tahun ini sanggup menjawab kebutuhan akan identitas dirinya sendiri (I am I) dan identitas tindakannya (I am the subject of my actions). Ia keluar dari ikatan keluarganya, terutama dari Ibunya. Ketika ia melihat penjual koran, ia mencatat dalam buku hariannya: “Jika anak laki-laki lain dapat melakukan itu, mengapa aku tidak bisa?” Tae-il sadar bahwa dirinya unik di antara sekian banyak orang. Meskipun ia tetap terikat dalam relasi dengan keluarganya, ia akhinya tahu bahwa ia sebenarnya terpisah dari orang lain. Kebutuhan akan identitas (need for identiy) yang telah terpenuhi memaksa Tae-il kecil untuk berhadapan langsung dengan hakikat kebebasan dan segera memeperjuangkannya.
Dalam usianya yang baru 14 tahun, Tae-il akhirnya mengerti dan memahami hakikat kebebasan itu yang sebenarnya. Ia menjadi tukan semir sepatu di Seoul. Penderitaan dan kejahatan yang melingkunginya memaksa dia untuk pergi ke Pusan. Di Pusan ia mengalami dengan sangat derita ’kesendirian’. Ia berkelana ke Youngdo dan mencatat: ”Walaupun aku berusaha mati-matian untuk hidup dengan caraku sendiri, aku tidak bisa. ... Aku berjalan dengan tak sabar. Adakah orang yang sedang menantiku di Youngdo?” Dalam usia terlalu muda, Tae-il sudah bergulat dengan keterasingan yang luar biasa akibat keputusan ’nekat’-nya atas nama kebebasan. Dalam mempertahankan hidupnya dan keluarganya, Tae-il sadar bahwa manusia yang hanya bermodalkan akal (rasio) dan kebebasan pribadi tidak dapat mencapai cinta dan damai sepenuhnya. Ia tetap memiliki berbagai macam kebutuhannya sebagai manusia yang bereksistensi. Setelah melewati hari-hari sendiri dan penuh penderitaan yang tak tertahankan serta tanpa kehilangan pemahamannya tentang hakikat eksistensi manusia, Tae-il akhirnya menyerah. Ia tidak tahan dengan bayangan penderitaan dan perjuangan Ibunya. Ia pun kembali merawat ibunya, mencari makan untuk adiknya, dan membina hubungan baik dengan Ayahnya yang sudah bertobat.

3. Jatuh Cinta dan Kuatnya Cita-Cita Sosial
Di usianya yang baru menginjak 20 tahun, Tae-il sudah merangkul beberapa teman buruh. Mereka lantas membentuk kelompok yang disepakati bersama bernama: Masyrakat Orang Bodoh. Cita-cita mereka adalah menuntut keadilan dan menciptakan komunitas persaudaraan antara buruh-pengusaha dan buruh-pemerintah. Idealisme ini begitu kuat dalam diri Tae-il. Minat sosialnya begitu tinggi. Pengalaman jatuh cinta dengan seorang penjaga toko dipandangnya sebagai suatu kemewahan yang dapat membutakannya dari realitas sosial. Ibunya adalah satu-satunya wanita yang ada di hatinya. Ia menulis: ”Setelah berpikir berulang kali aku merasa bersalah, ingat pada ibu yang telah memberikan segalannyauntuk anaknya yang tidak berguna. Belum waktunya bagiku untuk diganggu oleh perasaan jatuh cinta, yang merupakan suatu kemewahan”. Tae-il menambahkan bahwa cinta romantis adalah permainan emosi yang terlalu mewah dan dapat mengekang kebebasannya untuk melanjutkan perjuangan ini. Tae-il sangat menyadari keadaannya. Ia tidak ingin agar cinta eksklusif mengganggu relasi yang telah mengurat-akar sebelumnya, yakni: cinta kepada orang-orang yang menderita. Dengan kematangan berpikir, Tae-il sadar bahwa cinta sedemikian itu belumlah waktunya.
Kebanyakan rekan buruh yang lain tidak memberi respek terhadap perjuangan dan cita-cita kelompok Masyarakat Orang Bodoh ini. Kebebasan individu untuk meraih cinta dan kedamaian hanyalah mimpi. Penderitaan dilihat sebagai takdir yang sudah selayaknya diterima. Dengan latar suasana demikian, Tae-il sulit memperjuangkan hakikat keberadaan manusia (human existence). Tae-il sadar bahwa sebenarnya kaum minjung (masyarakat miskin Korea yang kebanyakan buruh/pekerja) memiliki kebebasan untuk menentukan, memilih, dan memaknai eksistensinya sebagai manusia. Kaum minjung ini, dalam bahasa Fromm, memiliki orientasi reseptif. Mereka bersikap pasif dan non-productive terhadap keadaan. Mereka sadar bahwa mereka tidak mampu dan tidak akan pernah mampu mengubah keadaan. Budak (gelar yang menurut Tae-il sangat cocok dilekatkan kepada setiap buruh di Korea) adalah satu-satunya pilihan bagi mereka untuk bertahan hidup. Bagi kaum minjung, sejalan juga dengan analisis Fromm, orang yang tidak dapat mencapai kebebasan dengan usaha kreatifnya sendiri, ia dapat mengidentifikasikan dirinya dengan orang atau kelompok lain (need for rootness). Dengan demikian, mayoritas kaum minjung mendapatkan identitas mereka dari memiliki seseorang dan bukan dari menjadi seseorang.
Tae-il menyadari bahwa ciri receptive orientation dalam diri masyarakat minjung itu tidak dapat memuluskan perjuangannya. Surat Tae-il berjudul Mengapa Aku Harus Manjadi Budak? (Desember 1970) kepada pemerintah Korea ingin menunjukkan optimisme Tae-il bahwa keterpurukan para buruh dapat diperbaiki. Semua manusia, terutama yang tertindas, mampu beradaptasi apoplastik, menggunakan akal, merealisasi cita-cita, dan meningkatkan serta memanfaatkan potensi alami mereka. Dengan demikian, Tae-il mendesak dua pihak, buruh miskin dan pemerintah/penguasa, untuk menyadari kebutuhan orientasi mereka. Para buruh hendaknya berani mengembangkan keberadaannya sebagai manusia dan merumuskan gambaran yang konsisten tentang dunia. Untuk itu, Tae-il mencoba membantu dengan membagikan koesioner. Dari 300 yang dibagi, hanya 30 yang kembali. Tekanan dari kolusi antara pemerintah dan perusahaan malah semakin gencar. Banyak anggota Masyarakat Orang Bodoh, yang adalah buruh, dipecat dari pekerjaannya. Tekanan yang berasal dari berbagai arah ini menenggelamkan Tae-il ke dalam lumpur kekecewaan dan keputusasaan yang yang paling dalam. Akhirnya, Tae-il mundur sambil memikirkan strategi baru untuk perjuangannya. Periode musim gugur 1969 sampai musim semi 1970 adalah periode filsafat Chun Tae-il. Ia tidak hilang akal.

4. Filsafat Chun Tae-il: ’Keterasingan’ (alienasi)
Pengalaman masa kecil turut mempengaruhi cara pikir Tae-il menjelang dewasa. Salah satu buah pikiran Tae-il dalam sejarah hidupnya adalah konsep atau filsafat ’keterasingan’. Berbeda dengan Karl Marx yang tak dikenalnya, filsafat alienasi Tae-il berangkat dari penagalaman nyatanya. Ia mengerti, memahami, dan merasakan apa itu penderitaan dan keterasingan, lebih dari sekadar Marxisme. Ia bukan seorang filsuf-akademis dan terpelajar, melainkan seseorang yang memulai karier sebagai buruh kasar sejak usia 15 tahun. Konsep ini lahir dari pengalaman dan kesadarannya akan ketidakberdayaan melawan dan memperjuangkan keadilan bagi kaum buruh. ”Mengapa aku harus bertanggung jawab akan kemiskinanku?Kita semua dilahirkan sama, tidak kaya tidak miskin!” Rupanya, Tae-il menyadari hakikat kebebasan itu sendirian. Lantas, ia malah terasing di dunianya sendiri tanpa teman. Ibu, Ayah, dan adik-adiknya serta rekan kerjanya seolah-olah tidak memiliki waktu untuk sekadar berpikir meraih kebebasan.
Ada lima inti filsafat Tae-il yang sangat menceminkan kepribadian dan orientasi perjuangannya. Intisari filsafatnya adalah sebagai berikut. Pertama, manusia memiliki hak dan kebebasan. Dari liku-liku pengalaman, masa kecil dan selama menjadi buruh, Tae-il menempatkan titik tolak filsafatnya pada fenomena sosial zamannya yang penuh dengan penindasan dan penderitaan. Tae-il sangat menghargai nila-nilai kemanusiaan, harapan-harapan dan moralitas. Ia mendambakan suatu kehidupan yang ditandai dengan kedamaian, kesederajatan, dan keadilan sosial. Manusia bukan binatang yang kebebasannya dapat dipermainkan. Ia mengecam kebijakan kerja yang tidak memanusiakan manusia. Kedua, filsafat Tae-il merupakan deklarasi reformasi sosial untuk mencapai perbaikan sosial. Undang-Undang Perburuhan dipandangnya tidak berguna sehingga dibakar bersamaan dengan tubuhnya. Undang-Undang itulah yang malah menyembunyikan kondisi-kondisi kerja yang tidak manusiawi. Di matanya, manusia sangat untuk dan berharga. Ia bukan komoditas yang sewaktu-waktu dapat dirampas semena-mena. Ketiga, filsafat Tae-il adalah deklarasi perjuangan kaum minjung. Butuh waktu lama untuk menyadarkan dan menyatukan kaum minjung. Seruan dan teriakan untuk menuntut kebebasan bukan pertama-tama diarahkan kepada para penguasa. Kaum minjung adalah kaum yang perlu dibakar semangatnya. Dengan demikian, Tae-il menyadari pentingnya relasi (need for relatedness; rootedness) dan kepaduan cita-cita dalam satu kerangka orientasi (frame of orientation; devotion) di antara sesama yang ditindas. Keempat, dasar filsafat Tae-il adalah Cinta Kasih. Dasar gerakan Tae-il bukan untuk ’membalas dendam’ lantaran penderitaan yang dialaminya sepanang hidup, melainkan untuk menciptakan suatu komunitas kasih persaudaraan. Semua manusia memiliki kebutuhan eksistensi yang sama dan berujung pada: Cinta. Perjuangan Tae-il tidak untuk dirinya sendiri tetapi untuk perbaikan sosial orang-orang yang menderita. Dia sangat paham dengan arti penderitaan karena ia dibesarkan dan dibentuk dalam penderitaan.

5. Transendensi: Orientasi yang Mengatasi Kematian
Fromm mengartikan need for transcendece dalam diri amnusia sebagai kemampuan manusia untuk berpikir dan berperan aktif di duniannya serta mengembangkan kreativitasnya. Fromm menegaskan bahwa manusia bukan seperti binatang yang pasif dan tidak memiliki kesadaran diri akan arti kebebasan. Tidak berbeda dengan Fromm. Dalam latar yang lebih dramatis, Tae-il meneriakan bahwa: ”Manusia bukan mesin! Manusia bukan untuk dieksploitasi!” Pekikan ini menunhjukkan keterasingan Tae-il di antara orang-orang ’buta’ (pemerintah dan pengusaha) yang tidak ingin mengerti dengan keberadaan manusia sekitarnya.
Fromm mengajukkan jalan lain untuk kreativitas yaitu destruktivitas. Dalam konteks kematian tragis-dramatis Tae-il, Fromm memberikan makna transendensi dalam diri seorang pribadi Tae-il. Apabila hidup yang layak, penuh cinta, adil, dan damai itu sulit bahkan tidak diraih atau diciptakan, seseorang dapat membinasakannya. Membinasakan kehidupan menyebabkan ia melampaui keterbatasan inderanya. Inilah bentuk nyata terpenuhinya kebutuhan Tae-il akan transendesi (need for transcendence). Ia tidak peduli dengan kehidupannya. Buruh-buruh yang tidak ingin bebas dan keluar dari keterpurukannya tidak jauh berbeda dengan binatang. Dalam bahasa Fromm, kaum minjung hanya beradaptasi secara statis, pesimistis, dan tetap (otoplastik). Padahal, mereka adalah manusia bereksistensi dengan kebebasan yang hakiki untuk memenuhi kebutuhan mereka secara sehat. Saya dapat menyimpulkan bahwa kaum minjung mengalami cacat psikologis, meskipun realitas ketidakadilan dan penderitaan mengekang mereka.
Tae-il yakin bahwa Komunitas Cinta dan Damai yang didambakannya akan menjadi kenyataan setelah api menghanguskan seluruh raganya pada 13 November 1970. Tae-il mengakui bahwa self-realization yang lengkap terkungkung dalam keterbatasan usia. Sebagai manusia, ia adalah makhluk yang hidup dan mati. Ia harus menerima dan menyadari existential dicotomy dirinya. Hidup adalah potensialitas primer dan kematian hanyalah sekunder yang hanya muncul bila daya-daya hidup dikecewakan. Meski ia tidak lagi ada dalam realitas perjuangan kaum buruh selanjutnya, semangat yang telah ditanamnya akan mengantar pengikutnya pada komunitas itu. Komunitas impian itu sama dengan yang diidealkan Fromm, yakni sebagai berikut: ”...manusia berhubungan satu sama lain dengan penuh cinta, di mana ia berakar dalam ikatan-ikatan persaudaraan dan solidaritas,..., menciptakan bukan dengan membinasakan....setiap orang mencapai pengertian tentang diri sendiri dengan mengalamidirinya sebagai subjek dari kemauan-kemauannya ... terdapat suatu sistem orientasi dan devosi ...” Fromm sebagai psikolog sosial menamai model masyarakat ini: Sosialisme Komunitarian Humanistik.

6. Refleksi Pribadi: Kreativitas dalam Keterasingan
Sebuah perjuangan yang sungguh-sungguh datang dari dalam diri seseorang akan teruji ketulusan dan keotentikannya dalam perubahan realitas yang dikannya. Perjuangan, dengan self-awareness yang mendalam, dapat mengantar orang kepada keterasingan. Tidak semua orang mengerti akan kebebasan yang adalah hakikat manusia itu sendiri. Belajar dari Tae-il, saya dapat malihat bahwa realisasi diri dan pemebntukan kerpribadian sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kebudayaan yang melingkungi kita. Oleh karena itu, saya dapat belajar beberapa hal dari kepribadian Tae-il.
Pertama, kesadaran akan human dicotomy. Tidak dapat disangakal bahwa manusia akan menghadapi realitas kematian. Semua manusia, termasuk saya, memiliki banyak cita-cita dan mimpi ynag ingin diraih. Persis dalam kesadaran itu, saya harus bersikap realistis. Keterbatasan usia untuk merealisasi diri secara sempurna (self-realisation) adalah kenyataan yang mesti diterima secara wajar. Kerendahan hati adalah sikap yang menurut saya sangat cocok. Dengan demikian, saya dapat menerima diri dan dapat berbuat banyak hak untuk kebaikan bersama yang nilainya abadi (eternal values).
Kedua, berada sendirian dalam keterasingan jangan sampai kehilangan ciri eksistensi kita. Dalam berbagai macam tekanan, Tae-il tetap menggunakan akal dan perasaan cintanya. Ia tidak kehilangan need for relatedness dengan orang-orang yang di sekitarnya. Ia tidak kehilangan frame of orientation dalam tindakan yang diambilnya. Ia juga sangat memahami need for transendence untuk mewujudkan cita-citanya, bahkan sampai melampaui batas-batas kemanuasiaannya. Dalam situasi yang serba sulit bagaimanapun juga, seorang manusia tetap memiliki eksistensi kemanusiaannya. Manusia bebas untuk berkreasi dengan akalnya. Apabila impian dan cita-cita itu luhur, misalnya Cinta, maka manusia hanya butuh waktu yang panjang untuk menjadi makhluk bereksistensi secara sempurna.
Akhirnya, semoga pengalaman pribadi, perkembangan kepribadian, dan nilai-nilai luhur yang ada dalan diri Chun Tae-il dapat menjadi pelajaran berharga untuk kita semua, Pejuang Cinta Kasih. Tuhan memberkati.





















Jika kamu menaruh dendam pada masa lalumu yang tidak bahagia,
maka masa lalu itu akan menghantui hidupmu selamanya.
(Chun Tae-il, Pahlawan Buruh Korea, 1969)


Daftar Pustaka:

Cho Young–rae. Pahlawan Buruh Korea: Riwayat Hidup Chun Tae-il, diterjemahkan oleh Jahya Palenewen dan Bambang Subono. Jakarta: PMK-HKBP, 2008.
Hall, Calvin S. dan Gardner Lindzey. Introduction to Theories of Personality. New York: John Wiley, 1985.
_________, Teori-Teori Psikodinamik (Klinis): Freud, Erickson, Jung, Adler, Fromm, Horney, Sullivan. Editor: A. Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Schultz, Duane. Psikologi Pertumbuhan: Model-Model Kepribadian Sehat (Cet. Ke-16), diterjemahkan oleh Yustinus Semiun. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

1 komentar:

  1. Sosok Tae il membari saya berlimpah-limpah inspirasi tentang makna kehidupan.
    Tidak semua orang dapat merasakan kehidupan sesamanya
    dan
    Tae il menunjukkannya!!!!!

    BalasHapus