Laman

Kamis, 29 Juli 2010

kuliah Teologi

Tema Ulasan: Locus Theologicus dalam sistematisasi Melchior Cano (1509—1560)
Oleh: Dr. T. Chrispurwana Cahyadi, SJ (Dosen Teologi STF Driyarkara, Jakarta)

Locus Theologicus
1. Sistematisasi Cano
Pembicaraan mengenai teologi tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan apa yang menjadi konteks, tempat atau ruang berteologi. Pertanyaan tersebut membawa kita pada persoalan mengenai locus theologicus.
Melchior Cano (1509-1560) diakui sebagai pertama dalam tradisi Katolik yang memberi secara sistematik gagasan mengenai locus theologicus dalam karyanya “De Locis theologicis”. Menurutnya daya pembuktian kebenaran teologis tidak didasarkan pada isinya atau evidensnya, namun dari sesuatu yang di luarnya, dari otoritas yang menyertainya. Untuk itu dia membedakan dua kategori sumber pengetahuan dari dirinya sendiri (proprii) dan yang mengacu atau meminjam dari pendekatan atau kajian ilmu pengetahuan lain (loci theologici alieni vel adscriptitii).

Selasa, 27 Juli 2010

sebuah sharing__OSPEK di STF Driyarkara: model yang kreatif, kritis, dan manusiawi

Masa Orientasi Pengenalan Kampus STF Driyarkara
Selasa-Jumat, 11-14 Agustus 2009
Sdr. Yornes Panggur, OFM
Suatu keindahan dan kebahagiaan tersendiri bagi saya dan pasti bagi saudara seangkatan saya yang lain, yakni: diutus untuk belajar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Banyak hal terbayang dalam pikiran saya tentang menjadi seorang mahasiswa, suatu status pekerjaan yang kata orang muda lumayan bergengsi atau berkelas. Namun, sebelum menjadi seorang mahasiswa yang penuh, sebagai mahasiswa baru saya harus melewati satu masa orientasi khusus yang dalam dunia perkuliahan biasa disebut Orientasi Pengenakan Kampus (Ospek). Menurut cerita beberapa teman dan kakak saya, masa ini mirip-mirip kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) untuk siswa yang baru masuk SMA. Spontan saja pikiran saya langsung tertuju pada kekerasan atau lebih tepatnya pada sangsi fisik dan mental yang diberikan kepada saya oleh kakak-kakak tingkat saya nanti.

Filsafat Phytagoras

FILSAFAT PYTHAGORAS
(IMORTALITAS JIWA DAN NUMERIOLOGI SEMESTA)

1. Pengantar
Sejak awal mula, manusia selalu bertanya tentang asal muasal kehidupannya. Para pemikir kuno (phusikoi) yang diwakili oleh para pemikir prasokratik telah berusaha untuk menemukan apa sebenarnya substansi pertama yang menjadi asal segala sesuatu di alam semesta ini. Substansi ini oleh para ‘filsuf’ prasokratik dinamakan sebagai phusis . Banyak filsuf menuangkan gagasan serta argumennya masing-masing tentang phusis yang mereka ajukan untuk menjawab misteri asal-usul semesta ini.
Salah seorang filsuf besar prasokratik yang juga berusaha menyatakan substansi alam semesta ini adalah Pythagoras. Meskipun tidak ada peninggalan sumber tertulis, ajaran Pythagoras sangat mempengaruhi dunia filsafat barat dan dunia pada umumnya. Bahkan nama Pythagoras sendiri sudah sangat dikenal oleh semua orang khususnya bagi yang pernah belajar ilmu matematika. Sumber-sumber mengenai ajaran beliau banyak diceritakan oleh filsuf-filsuf di kemudian hari. Secara umum, Pythagoras mengemukakan ajaran tentang imortalitas jiwa dan numeriologi semesta.
Analisis Kepribadian Chun Tae-il
Menurut Teori Psikoanalisis Sosial Erich Fromm (1900 - 1980)

1. Pengantar
Seorang buruh Korea akan menyebut nama Chun Tae-il (1948—1970) dengan penuh hormat bila ditanya: siapa orang yang paling berpengaruh dalam hidupmu? Chun Tae-il lahir pada 26 Agustus 1948 dalam keluarga miskin dan bertumbuh-kembang dalam masyarakat yang serba kurang. Penderitaan, kelaparan, penyakit, penindasan majikan, gubuk-gubuk reyot, dan wajah penuh peluh adalah fenomena yang tampak biasa pada orang-orang yang hidup di sekitar dirinya. Ibunya, Yi Sho-sun, adalah sosok seorang wanita pejuang dan gigih mencari cara untuk bertahan hidup. Sang Ibu menjadi pengemis, pengantar barang, tukang cuci, dan sebagainya untuk sekadar memberi makan keenam anaknya. Ayah Tae-il, Chun Sang-soo, adalah seroang tukang jahit pabrik garmen yang hilang asa setelah di-PHK. Kebiasaannya yang buruk yakni akrab dengan minuman keras beralkhohol berdampak buruk pula pada kelangsungan hidup keluarga dan, tentu saja, dengan perkembangan Tae-il kecil. Menjelang dewasa, Tae-il menjadi sosok pribadi yang tegas, memiliki utopia yang tinggi untuk mengubah situasi penderitaan sesama di sekitarnya, khusunya para buruh.
Dalam telaah psikoanalisis sosial Erick Fromm (1900 - 1980), Tae-il adalah pribadi yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa kecil dan ketidaladilan sosial di zamannya. Self-awareness mempengaruhi setiap perjuangannya. Penderitaan para buruh yang disaksikannya selalu menggugah hatinya. Ia selalu mengingat penderitaan di masa lalunya. Dalam benaknya, ia yakin bahwa para buruh yang tertindas itu mampu memvisualisasikan masa depan, sebagaimana dialaminya. Masa depan, yakni kadamaian dan keadilan, merupakan hak-bebas yang dimiliki setiap manusia. Dalam bahasa Fromm, manusia harus mengembangkan potensi dirinya karena memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan. Akan tetapi, ketidakpaduan dalam tubuh para buruh sendiri mengarahkan Tae-il dan perjuangannya kepada potensi keterasingan (alienasi). Tae-il terus berjuang bersama kelompok kecilnya melawan ketidakpedulian negara dan para majikan. Akhirnya, bertolak dari analisis Fromm, saya menyimpulkan bahwa self-realization yang terbatas oleh usia (human dicotomy) dan ketidakterpenuhan 5 kebutuhan eksistensial manusia telah mempengaruhi keputusan akhir Tae-il terhadap hidup dan perjuangannya. Pada 13 November 1970, Chun Tae-il membakar diri saat demostrasi sambil berteriak: ”Patuhi Undang-Undang Perburuhan! Kami bukan mesin!” Akhir yang sangat mengenaskan utnuk pemuda 22 tahun.