Laman

Selasa, 01 Februari 2011

sejenak bersama Nietzsche

The Will of Power
(yornes_ofm)

1. Pengantar
Dalam melihat realitas di sekitarnya, Frederich Wilhelm Nietzsche (1844—1900) sangsi bahwa ada suatu daya yang mendorong dan selalu menjadi latar belakang setiap tindakan manusia. Dunia atau alam pikiran yang paradoksal (kritis-modern dengan ingin kembali menggali kejayaan masa lalu) adalah konteks kehidupan Nietzsche. Alam pikiran tradisional (mitos) menjadi lawan sengit sekularisasi, rasionalisasi, dan demitologisasi; tetapi, di tengah konteks kehidupan seperti itu, makin banyak orang merefleksikan diri bahwa ada daya yang telah melahirkan ‘kejayaan/kekayaan’ besar di masa lalu (diwakili kebudayan Yunani Klasik), yang harus digali oleh manusia sekarang. Dorongan atau daya penggerak segala tindakan manusia yang telah dimulai di kebudayaan Yunani Klasik (khususnya zaman pra-Sokratik) ini menarik perhatian Nietzsche. Dia yakin daya atau kekuatan itu sudah dibatinkan dalam diri manusia untuk berada dan hidup serta menciptakan suatu tata kehidupan. Ada sesuatu yang membentuk realitas secara aktif. Tampaknya, Nietszche melontarkan salah satu pertanyaan mendasar: apa yang menggerakan manusia untuk berprilaku? Nietzsche yakin, ada daya yang tersembunyi dibalik semua ini. Bertolak dari gagasan Schopenhauer, daya itu dinamakannya ”Kehendak-untuk-Berkuasa” (The Will of Power atau der Wille zur Macht). Dalam buah karyanya seperti Beyond Good and Evil (1886), The Genealogy of Morals (1887), dan bukunya yang belum rampung, The Will of Power, Nietzsche menyatakan bahwa Kehendak-untuk-Berkuasa adalah hakikat dari dunia, hidup, dan ada. Ia adalah hakikat dari segala realitas, dari segala-galanya. Meskipun demikian, dalam ketiga karyanya itu, ia tidak memberikan batasan arti atau ”apa itu...?”(whatness) atau hakikat dari Kehendak-untuk-Berkuasa itu sendiri. Baiklah dalam tulisan ini, saya akan mencoba mengulas kira-kira Kehendak-untuk-Berkuasa macam apakah yang dimaksudkan Nietszche itu.
2. Titik Tolak Pemikiran: Sumbangan Schopenhauer dan Pemikiran Yunani Klasik
Nietzsche berusia 21 tahun saat ia mulai tertarik dengan karya-karya Schopenhauer. Perihal tentang ‘kehendak’, Nietzsche banyak mengadaptasi dari konsep itu saat membaca buku Scopenhauer, Die Welt als Wille und Vorstellung (1819). Ia setuju bahwa ‘kehendak’ adalah dorongan atau daya-kekuatan yang menggerakkan manusia untuk bertindak. Akan tetapi, Nietzsche tidak lantas menimba mentah-mentah konsep Schopenhauer. Di sini, kita harus membedakan batasan pengertian kehendak antara Schopenhauer dan Nietzsche. Schopenhauer masih meyakini adanya kehendak-dalam-dunia-fenomenal (dunia sebagai presentasi) dan kehendak-dalam-dunia-numenal (dunia metafisis, tempat Schopenhauer menerima konsep Kant tentang das Ding an Sich). Dengan ini, Schopenhauer memperkenalkan bahwa sebenarnya dalam diri manusia, sejak zaman Yunani pra-Sokratik, manusia memiliki suatu kehendak metafisis, yakni dorongan buta yang tidak pernah mencapai kepuasan dan tujuannya. Dunia ini, baik fenomenal maupun numenal, menurut Schopenhauer, adalah suatu kehidupan yang mengandung unsur paradoksal: berjuang dan berhasrat untuk suatu yang sia-sia, yang malahan sering sudah diketahui sebagai kesia-siaan. Bagaimana Nietzsche mengadaptasi konsep kehendak ini? Telah dilihat bahwa dalam mempertajam konsep dan pemikirannya akan suatu daya tersebut, Nietzsche telah banyak belajar dan mendalami konsep Kehendak yang sudah digagas oleh Schopenhauer sebelumnya. Meskipun demikian, Nietszche tidak sepaham dalam beberapa hal terkait dengan pembatasan hakikat ‘kehendak’. Pertama, Nietzsche menolak pendistingsian kehendak dalam Schopenhauer. Bagi Nietszche, Schopenhauer telah terjebak dalam praduga populer tentang bahasa yang berekses pada pemahamannya yang dualis tentang kehendak. Dalam pemahaman umum, orang percaya bahwa sebuah kata dapat mewakili realitas. Dengan demikian, kehendak pada akhirnya mempunyai dua sisi atau bentuk. Di satu sisi, menurut Schopenhauer, kata kehendak tampak nyata dalam dunia fenomenal, dunia yang fisik-lahiriah. Di sisi lain, kehendak itu ada dan mendahului kehendak yang tampak secara lahiriah itu. Kehendak itu sifatnya buta dan hanya ada dan dipahami dalam tataran metafisis. Persis, pada titik ini, Nietzsche melontarkan kritiknya. Bagi Nietzsche, kata kehendak adalah peng-kata-an yang terlambat untuk sebuah realitas. Nietzsche tidak mengenal adanya dunia numenal dan fenomenal. Kehendak itu tampil dengan seluruh keberadaannya di mana saja di dunia ini dan menjadi hakikat segala realitas. Kehendak bukan sesuatu yang dapat dipilah-pilah, melainkan suatu keseluruhan proses menjadi. Kedua, kehendak merupakan hakikat realitas itu sendiri. Nietzsche tidak membuat sebuah definisi yang jelas tentang kehendak karena baginya kehendak adalah hakikat realitas dunia, hidup, dan ada. Apa yang kita alami dan sebagai kenyataan, itulah kehendak. Kehendak dapat dipahami sebagai energi-energi yang heterogen, mencakup suasana psikis, metabolisme fisiologis, pertukaran zat, gerek fisis, dan seluruh proses menjadi dari kosmos ini. Jadi, kita jangan terbatas pada daya atau dorongan dalam diri kemanusiaan kita. Ketiga, kehendak itu bernama Kehendak-untuk-Berkuasa. Bagi Nietzsche Kehendak-untuk-Berkuasa merupakan khaos yang tak memiliki landasan apapun. Ia adalah hakikat dari realitas itu, sehingga sangatlah tidak mungkin memberi batasan yang pasti tentang whatness atau definisi yang tunggal dan partikular. Jika kita membatasi makna dan sibuk mencari hakikat Kehendak-untuk-Berkuasa itu, kita sebenarnya belum sampai pada hakikat dari realitas itu. Nietzsche menegaskan agar kita tidak terjatuh dan terjebak dalam presentasi kehendak saja, seperti dalam Schopenhauer, yang mengartikan kehendak secara parsial. Nietzsche berusaha mendobrak konsep metafisis yang tampak dalam makna yang terkandung dalam kata ‘kehendak’ (will) dan ‘kuasa’ (power). Kehendak merupakan gejala yang sifatnya plural yang muncul karena terjadinya perbedaan kekuatan (power). Bertolak dari kisah Ullyses dalam mitologi Yunani, ia menyimpulkan bahwa kekuatan yang menjadi pendorong dalam peradaban manusia adalah daya pendorong untuk berkuasa. Sepanjang sejarah peradaban, manusia hanya hidup dan ada dalam realitas itu: bagaimana mencari kekuasaan dan menaklukkan kehidupan ini. Jadi, bila orang bertanya, apa hakikat dari realitas? Nietzsche akan menjawab: Kehendak-untuk-Berkuasa. Orang-orang Yunani Kuno telah membuktikannya dalam kebudayaannya yang tinggi dan agung. 3. Moralitas Kristiani
Secara essensial, agama didirikan untuk memapankan hidup dan cara hidup serta sebagai landasan praktik moral dan sekaligus disciplina voluntatis (praktik pendisiplinan kehendak). Yang berbeda sekarang adalah interpretasi. Interpretasi ini, kemudian, membentuk tata agama Kristen (termasuk juga agama-agama selain Kristen). Tata kehidupan agama Kristen di tengah arus modernitas saat itu adalah sasaran pertama serangan konsep dan kritik Nietzsche. Nietzsche hidup dalam konteks keagamaan dengan sistem hierarki-institusional dan berlandaskan pada interpretasi ajaran dogmatis yang kaku. Meski menawarkan aneka macam keutamaan-keutamaan hidup (yang dipandang sebagai jalan menuju/mencapai kebahagiaan), lembaga dan ajaran agama Kristen lantas mematikan kebebasan manusia, terutama para budak dan orang miskin. Bagi Nietzsche, agama Kristen telah menciptakan sebuah alur kehidupan yang fiktif, yang sarat akan penipuan dan kemunafikan. Ajaran cinta kasih, kerendahan hati, solidaritas dan empati, dan ajaran keutamaan Kristen lainnya (khususnya “Suara Hati”) telah menumpulkan daya atau dorongan dalam diri manusia dalam bertindak. Agama Kristen berhasil membatasi Kehendak-untuk-Berkuasa yang sebenarnya ada dalam seluruh realitas, termasuk manusia dengan segala ke-ada-annya. Dengan kata lain, moralitas Kristiani telah cukup berhasil mempermudah ‘para tuan’-nya (anggota hierarki dan para penguasa) untuk menjalankan Kehendak-untuk-Berkuasa mereka dan mengajarkan rasionalitas moral atau roh untuk membendung kekuatan-kekuatan atau daya-daya lain di luar mereka. Akhirnya, manusia di luar hierarki terjerat dalam sebuah sistem dan mereka hidup secara terpisah di dalamnya, padahal ada daya yang sama dalam semua manusia yang seharusnya menjadi realitas itu yang seungguhnya.
4. Nietzsche Menolak Kebenaran Absolut Para Saintifik

Nietzsche melihat bahwa dibalik ambisi-ambisi sains ada kehendak akan kebenaran absolut. Kehendak yang tidak-mau-salah, bukan kehendak yang tidak-mau-membiarkan-diri-salah. Kehendak yang tidak-mau-salah ini berimplikasi pada lahirnya dua gagasan eksistensi manusia yang ekstrem. Nietzsche menempatkan gagasan kehendaknya di antara dua ekstrem itu, antara dubito ergo sum (aku curiga, aku ada) dan credo ergo sum (aku percaya, aku ada). Kebenaran absolut para saintifik hanyalah penopang atau dasar kehidupan dan kepastian realitas ini. Sadar atau tidak, menurut Nietzsche, mereka sebenarnya telah percaya pada kebenaran yang cacat, dangkal, lemah dan loyo. Realitas harus lebih luas dari aksioma-aksioma sains. Dalam sains, kekeliruan tidak dapat diterima dan harus dibuang jauh-jauh. Padahal, realitas harus mengandung dan merangkum semuanya: baik kebenaran realitas itu sendiri maupun kekeliruan atau kecacatannyanya. Kehendak yang bertolak dari kebenaran absolut sains ini telah mengurangi separuh dari kapasitas realitas yang sesungguhnya. Nietzsche menjelaskan bahwa kebenaran absolut seperti itu adalah fiksi yang kita buat dengan suatu interpretasi dari sudut pandang tertentu. Jika demikian, kebenaran absolut itu tetap saja dapat ditafsir secara bebas tergantung dari sudut pandang penafsir (perpektivisme). Seperti dalam moralitas kristiani, ke-absolut-an sains adalah produk lahiriah Kehendak-untuk-Berkuasa para saintifik yang dangkal dan kaku.
5. Beberapa Tanggapan
Dari uraian di atas, saya dapat mengajukan beberapa tanggapan berikut. Pertama, Nietzsche belum atau sama sekali tidak menjelaskan pengecualian dari beberapa tindakan lahiriah yang tampak bukan digerakan oleh Kehendak-untuk-Berkuasa. Atau, dengan lain perkataan, Nietzsche tidak menjelaskan bagaimana Kehendak-untuk-Berkuasa itu mempengaruhi tindakan-tindakan atau pilihan hidup orang-orang yang semula memang sama sekali tidak mengenal Kehendak-untuk-Berkuasa di dalam diri mereka? Sebagai contoh, kehidupan seorang santo/santa atau seorang filsuf pertapa seperti Spinoza (filsuf yang juga dikagumi Nietzsche). Mereka tampaknya berkeinginan untuk meredam Kehendak- untuk-Berkuasa” dalam diri mereka demi sesuatu yang menurut mereka lebih luhur daripada sekadar untuk kepuasan atau kejayaan diri sendiri. Lalu, apakah dengan demikian, Kehendak-untuk-Berkuasa itu dapat ‘dimusnahkan’ dari dan oleh diri orang-orang seperti mereka? Selain itu, mengatakan bahwa santo/santa dan filsuf pertapa itu menerapkan Kehendak-untuk-Berkuasa atas diri dan cara hidup mereka sendiri akan memperlakukan konsep ini sedemikian rupa longgar dan luwes sehingga hampir bisa dikatakan bahwa konsep ini sama sekali tidak bermakna. Dengan kata lain, para santo atau santa ini dapat mengurangi kualitas Kehendak-untuk-Berkuasa, padahal daya ini merupakan hakikat dari seluruh realitas yang ada dan hidup (berbeda dengan Kehendak-untuk-Berkuasa para budak yang terus bergejolak dan melawan para tuan meski sembunyi-sembunyi). Dalam hal ini, Nietzsche tidak menawarkan suatu jawaban (mungkin karena dia adalah filsuf unik yang hanya berhenti pada aforisme dan menyuruh saya untuk berpikir). Akan tetapi, ada usulan metaforis dari Nietzsche. Baginya, seorang budak (atau siapa saja yang merasa Kehendak-untuk-Berkuasanya dikalahkan oleh pihak-pihak di luar dirinya) harus dapat menjadi roh yang menari di seutas tali tambang di atas jurang, menjadi seperti orang Yunani yang tahu bagaimana hidup di permukaan karena tahu ke-dalam-an jurang. Dalam tataran personal, ini hanya menyangkut cara orang menanggapi realitas, cara bagaimana ia menggunakan Kehendak-untuk-Berkuasanya. Kedua, konsep Will of Power ternyata adalah sesuatu yang bersifat sirkular; sebagaimana Nietzsche (yang dengan Will to Power-nya) telah berusaha membuktikan dan menjelaskan daya itu sebagai landasan segala realitas, dan akhirnya, menjadi realitas itu sendiri. Dengan demikian, menurut saya, Nietzsche menyadarkan semua manusia untuk mengenal diri sendiri sebagai penentu realitas, yang masing-masing memiliki Will to Power, agar dapat hidup apa adanya. Seperti juga apa yang menjadi keyakinan Nietzsche, manusia yang memahami dengan sungguh Kehendak-untuk-Berkuasa dan menggunakannya secara maksimal akan mencapai makna realitas itu apa adanya. Dengan demikian, tidak ada lagi jawaban “Tidak”, seperti dalam Pesimisme Schopenhauer, karena kita semua memiliki Kehendak-untuk-Berkuasa.
6. Penutup
Tesis dasar Nietzsche adalah bahwa seluruh realitas kosmos, tanpa terkecuali, didorong oleh suatu Kehendak untuk Berkuasa (Will to Power). Secara khusus, dalam diri manusia, semua impuls tindakan kita berasal dari kehendak ini. Oleh Nietzsche, konsep Will to Power terbukti telah ampuh untuk menganalisis motif umat manusia. Tindakan-tindakan yang sebelumnya tampak mulia atau terhormat, kini tampak sebagai sesuatu yang dekaden bahkan memuakkan. Tata kehidupan pada zaman Nietzsche yang sarat dengan keutamaaan-keutamaan Kristiani adalah ekspresi nyata Kehendak-untuk-Berkuasa yang memang sudah dapat dilihat dalam perjalanan sejarah peradaban manusia. Ajaran dan tata kehidupan moral Kristiani, sebagai contoh, adalah suatu agama yang dilahirkan di tengah-tengah perbudakan di Zaman Romawi, dan sama sekali tak bisa membebaskan dirinya dari mentalitas budak. Bagi Nietzsche, banyak umat manusia telah terjebak dalam kepercayaan akan kebenaran absolut yang ada dalam agama itu. Akan tetapi, dengan konsep Will to Power, kita ditantang untuk menyadari apa daya atau kekuatan kita untuk tidak jatuh ke dalam dunia, dalam hidup, dan dalam ke-ada-an yang pesimis dan fiktif. Secara personal, “metafisika” Nietzsche ini mengajak kita untuk menggunakan Kehendak-untuk-Berkuasa kita dalam mendobrak kecacatan dan kelemahan kita selama ini.


Kepustakaan:
Setyo Wibowo, A., 2004, Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta: Galang Press.
Hardiman, F. Budi, 2007, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia. Leiter, Brian and Neil Sinhababu (ed.), 2007, Nietzsche And Morality, Clarendon Press: Oxford, p. 34—41. Hollingdale, R. J., 1985, Nietzsche, ARK Paperbacks: London. Sunardi, Stanislaus, 2006, Nietzsche (cetakan V), LkiS Pelangi Aksara: Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar