Laman

Sabtu, 08 Oktober 2011

sejenak bersama Marx dalam Krtik terhadap Agama

Kritik Marx Terhadap Agama

1.      Pengantar
Sebagai filsuf sosialis, Karl Marx (1818—1883) berkutat pada konsep-konsep dan tatanan-tatanan dalam masyarakat dan sejauh mana semuanya itu berhubungan serta akhirnya membentuk suatu konsep dan model masyarakat yang baru. Dengan asumsi ini, keterlibatan Marx dalam diskusi tentang agama lebih berpangkal pada pencariannya pada hubungan intensif antara realitas sosial dan sebab pertama yang mendasari mengapa realitas itu muncul. Agama, bagi Marx, memiliki dua sisi dan karena itu segala kritik terhadapnya mesti perlu dikritisi: apakah berasal dan mengarah pada realitas primer dari agama itu sendiri (aspek transendental, misteri) atau realitas sekunder semata (aspek konkrit, real, nyata).[1] Dengan demikian, bagi Marx, kritik agama menjadi suatu pintu masuk pada kritik masyarakat karena kritik agama adalah juga kritik terhadap masyarakat dan dinamikanya yang memproduksi agama.

Dalam makalah ini, saya mencoba menguraikan secara sistematis konsep pemikiran dan kritik Karl Marx atas Agama. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut. Pertama, bagaimanakah Marx memahami agama dengan  bertolak dari konsep-konsep tentang agama yang sudah muncul sebelumnya (Hegel dan Feuerbach)? Kedua, bagaimana memahami gagasan ‘agama sebagai candu masyarakat’? Ketiga, bagaimanakah keberadaan agama dan pengaruhnya  terhadap perubahan sosial?Keempat, tanggapan saya terhadap kritik Marx terhadap agama.

Rabu, 13 April 2011

Di Jendela

“Ke mana aku sedang  pergi?” tanyaku kepada diriku. Aku tidak mengerti mengapa diriku tidak banyak bicara. Aku jarang bahkan tidak pernah menceritakan kepada kalian. Enggan atau terlampau rahasia? Mungkin aku hanya butuh waktu untuk berpikir dan merenung sendiri. Baiklah! Aku tidak akan terus menuntut. Aku percaya pasti aku dapat menentukan setiap keputusanku sendiri. Aku sudah dewasa untuk menentukan pilihan hidup dan tindakan yang menyertainya. Konsisten? Itu pasti!

”Mungkinkah ada yang lebih berharga di sana?” aku bertanya dalam keheninganku. Aku merasa, pertanyaan itu memastikan bahwa yang ada di sini belum, mungkin tidak, menjawab yang aku butuhkan. Tetapi, aku sebenarnya berada dalam keraguan dan ketidakpastian akan sesuatu yang berharga itu. Akhirnya, aku mencoba pergi dan bergabung di dunia. Aku yakin, aku sedang mencari sesuatu yang kurindukan dan yang tidak aku temukan di rumah ini. Siapa yang harus merenung lebih dalam lagi tentang maksud kepergianku ini? Kita semua. 

”Akhirnya, ada sesuatu yang beda dan menakjubkan di sini!” Aku dengar kata-kata itu terucap dari ujung bibirku. Aku yakin, ada sebuah dunia yang telah jauh melampaui hari-hari hidup kita di sini. Dunia itu tidak nyata dan...ya, aku menemukannya! Sekian banyak tali terjalin erat di sana. Tidak seperti tali yang terikat di pinggang kita masing-masing. Tali yang baru itu hanya bayang-bayang semu, sesuai dengan dunianya, tetapi ikatannya terlalu erat dan menarik pinggang kami. Aku semakin menjauh dari rumah. Matahari dapat melihat tali pinggang putih yang kita pakai setiap pagi. Namun, matahari yang sama tidak mengenal ikatan-ikatan kita yang lain di dunia bayang-bayang itu. Saat itu aku sadar, kita dapat terikat pada dua dunia yang berbeda mesku harus banyak-banyak berbohong.

”Adakah kebahagian di sana?” Aku ingin memastikan, alasan apa yang membuat diriku dan dirimu tersenyum di depan jendela itu. Suatu perangkat dan sistem kerja yang canggih telah membawa sebuah gambaran kepuasan dan kebahagian. Aku diterima di sana. Inikah jendela dunia dan membawa kepadaku rupa-rupa kebahagiaan? Jika kujawab dengan yakin maka dunia itu harus nyata. Namun, realitas di balik jendela itu tetaplah maya. Aku tidak ambil pusing, mau maya atau tidak, yang penting percakapan ini terus dilanjutkan, antara aku dan dia dan mereka.

”Cukagara!!!” Ini kata yang paling halus dari sekian yang terucap. Aku panas, mengapa tiba-tiba sambungannya putus. Internet connection is error! Aku marah pada layar itu. Mengapa serentak meninggalkan aku sendiri. Dia di sana mungkin bingung, kecewa, atau apalah lantaran aku tak menjawab pertanyaan paling puncak dari relasi aku-dia. Perjalanan data ”import” untuk paperku pun terputus, padahal 30 menit lagi deadline. Aku hanya terpaku dan diam. Tidak ada yang dapat kusapa seperti sebelumnya. Saat itu aku buka mata, berdiri, ambil jarak, dan...ya... mengapa emosiku larut bersamanya?

”Aku harus pulang!” Dunia itu tidak menjamin segalanya bagiku. Kebahagiaan otentik adalah kehadiran yang nyata, bukan suatu bayangan semu. Ada ’yang lain’ yang ada di sampingku, di depanku, di belakangku. Mereka akan ada bersamaku seumur hidupku. Mereka tidak maya dan bukan bayangan semu. Seharusnya, aku harus belajar tentang diriku sendiri sebelumnya. Aku harus pulang! Meskipun berat dan sedih, aku harus pulang dan ucapkan ’maaf’ kepada keluargaku! (lalu perlahan-lahan aku pulang...).

Selasa, 01 Februari 2011

sejenak bersama Nietzsche

The Will of Power
(yornes_ofm)

1. Pengantar
Dalam melihat realitas di sekitarnya, Frederich Wilhelm Nietzsche (1844—1900) sangsi bahwa ada suatu daya yang mendorong dan selalu menjadi latar belakang setiap tindakan manusia. Dunia atau alam pikiran yang paradoksal (kritis-modern dengan ingin kembali menggali kejayaan masa lalu) adalah konteks kehidupan Nietzsche. Alam pikiran tradisional (mitos) menjadi lawan sengit sekularisasi, rasionalisasi, dan demitologisasi; tetapi, di tengah konteks kehidupan seperti itu, makin banyak orang merefleksikan diri bahwa ada daya yang telah melahirkan ‘kejayaan/kekayaan’ besar di masa lalu (diwakili kebudayan Yunani Klasik), yang harus digali oleh manusia sekarang. Dorongan atau daya penggerak segala tindakan manusia yang telah dimulai di kebudayaan Yunani Klasik (khususnya zaman pra-Sokratik) ini menarik perhatian Nietzsche. Dia yakin daya atau kekuatan itu sudah dibatinkan dalam diri manusia untuk berada dan hidup serta menciptakan suatu tata kehidupan. Ada sesuatu yang membentuk realitas secara aktif. Tampaknya, Nietszche melontarkan salah satu pertanyaan mendasar: apa yang menggerakan manusia untuk berprilaku? Nietzsche yakin, ada daya yang tersembunyi dibalik semua ini. Bertolak dari gagasan Schopenhauer, daya itu dinamakannya ”Kehendak-untuk-Berkuasa” (The Will of Power atau der Wille zur Macht). Dalam buah karyanya seperti Beyond Good and Evil (1886), The Genealogy of Morals (1887), dan bukunya yang belum rampung, The Will of Power, Nietzsche menyatakan bahwa Kehendak-untuk-Berkuasa adalah hakikat dari dunia, hidup, dan ada. Ia adalah hakikat dari segala realitas, dari segala-galanya. Meskipun demikian, dalam ketiga karyanya itu, ia tidak memberikan batasan arti atau ”apa itu...?”(whatness) atau hakikat dari Kehendak-untuk-Berkuasa itu sendiri. Baiklah dalam tulisan ini, saya akan mencoba mengulas kira-kira Kehendak-untuk-Berkuasa macam apakah yang dimaksudkan Nietszche itu.
2. Titik Tolak Pemikiran: Sumbangan Schopenhauer dan Pemikiran Yunani Klasik
Nietzsche berusia 21 tahun saat ia mulai tertarik dengan karya-karya Schopenhauer.