Di Jendela
“Ke mana aku sedang pergi?” tanyaku kepada diriku. Aku tidak mengerti mengapa diriku tidak banyak bicara. Aku jarang bahkan tidak pernah menceritakan kepada kalian. Enggan atau terlampau rahasia? Mungkin aku hanya butuh waktu untuk berpikir dan merenung sendiri. Baiklah! Aku tidak akan terus menuntut. Aku percaya pasti aku dapat menentukan setiap keputusanku sendiri. Aku sudah dewasa untuk menentukan pilihan hidup dan tindakan yang menyertainya. Konsisten? Itu pasti!
”Mungkinkah ada yang lebih berharga di sana?” aku bertanya dalam keheninganku. Aku merasa, pertanyaan itu memastikan bahwa yang ada di sini belum, mungkin tidak, menjawab yang aku butuhkan. Tetapi, aku sebenarnya berada dalam keraguan dan ketidakpastian akan sesuatu yang berharga itu. Akhirnya, aku mencoba pergi dan bergabung di dunia. Aku yakin, aku sedang mencari sesuatu yang kurindukan dan yang tidak aku temukan di rumah ini. Siapa yang harus merenung lebih dalam lagi tentang maksud kepergianku ini? Kita semua.
”Akhirnya, ada sesuatu yang beda dan menakjubkan di sini!” Aku dengar kata-kata itu terucap dari ujung bibirku. Aku yakin, ada sebuah dunia yang telah jauh melampaui hari-hari hidup kita di sini. Dunia itu tidak nyata dan...ya, aku menemukannya! Sekian banyak tali terjalin erat di sana. Tidak seperti tali yang terikat di pinggang kita masing-masing. Tali yang baru itu hanya bayang-bayang semu, sesuai dengan dunianya, tetapi ikatannya terlalu erat dan menarik pinggang kami. Aku semakin menjauh dari rumah. Matahari dapat melihat tali pinggang putih yang kita pakai setiap pagi. Namun, matahari yang sama tidak mengenal ikatan-ikatan kita yang lain di dunia bayang-bayang itu. Saat itu aku sadar, kita dapat terikat pada dua dunia yang berbeda mesku harus banyak-banyak berbohong.
”Adakah kebahagian di sana?” Aku ingin memastikan, alasan apa yang membuat diriku dan dirimu tersenyum di depan jendela itu. Suatu perangkat dan sistem kerja yang canggih telah membawa sebuah gambaran kepuasan dan kebahagian. Aku diterima di sana. Inikah jendela dunia dan membawa kepadaku rupa-rupa kebahagiaan? Jika kujawab dengan yakin maka dunia itu harus nyata. Namun, realitas di balik jendela itu tetaplah maya. Aku tidak ambil pusing, mau maya atau tidak, yang penting percakapan ini terus dilanjutkan, antara aku dan dia dan mereka.
”Cukagara!!!” Ini kata yang paling halus dari sekian yang terucap. Aku panas, mengapa tiba-tiba sambungannya putus. Internet connection is error! Aku marah pada layar itu. Mengapa serentak meninggalkan aku sendiri. Dia di sana mungkin bingung, kecewa, atau apalah lantaran aku tak menjawab pertanyaan paling puncak dari relasi aku-dia. Perjalanan data ”import” untuk paperku pun terputus, padahal 30 menit lagi deadline. Aku hanya terpaku dan diam. Tidak ada yang dapat kusapa seperti sebelumnya. Saat itu aku buka mata, berdiri, ambil jarak, dan...ya... mengapa emosiku larut bersamanya?
”Aku harus pulang!” Dunia itu tidak menjamin segalanya bagiku. Kebahagiaan otentik adalah kehadiran yang nyata, bukan suatu bayangan semu. Ada ’yang lain’ yang ada di sampingku, di depanku, di belakangku. Mereka akan ada bersamaku seumur hidupku. Mereka tidak maya dan bukan bayangan semu. Seharusnya, aku harus belajar tentang diriku sendiri sebelumnya. Aku harus pulang! Meskipun berat dan sedih, aku harus pulang dan ucapkan ’maaf’ kepada keluargaku! (lalu perlahan-lahan aku pulang...).