Kritik Marx Terhadap Agama
1. Pengantar
Sebagai filsuf sosialis, Karl Marx (1818—1883) berkutat pada konsep-konsep dan tatanan-tatanan dalam masyarakat dan sejauh mana semuanya itu berhubungan serta akhirnya membentuk suatu konsep dan model masyarakat yang baru. Dengan asumsi ini, keterlibatan Marx dalam diskusi tentang agama lebih berpangkal pada pencariannya pada hubungan intensif antara realitas sosial dan sebab pertama yang mendasari mengapa realitas itu muncul. Agama, bagi Marx, memiliki dua sisi dan karena itu segala kritik terhadapnya mesti perlu dikritisi: apakah berasal dan mengarah pada realitas primer dari agama itu sendiri (aspek transendental, misteri) atau realitas sekunder semata (aspek konkrit, real, nyata).[1] Dengan demikian, bagi Marx, kritik agama menjadi suatu pintu masuk pada kritik masyarakat karena kritik agama adalah juga kritik terhadap masyarakat dan dinamikanya yang memproduksi agama.
Dalam makalah ini, saya mencoba menguraikan secara sistematis konsep pemikiran dan kritik Karl Marx atas Agama. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut. Pertama, bagaimanakah Marx memahami agama dengan bertolak dari konsep-konsep tentang agama yang sudah muncul sebelumnya (Hegel dan Feuerbach)? Kedua, bagaimana memahami gagasan ‘agama sebagai candu masyarakat’? Ketiga, bagaimanakah keberadaan agama dan pengaruhnya terhadap perubahan sosial?Keempat, tanggapan saya terhadap kritik Marx terhadap agama.
2. Agama dalam Tiga Pemikiran: Hegel, Feuerbach, dan Marx
Dua tokoh yang sangat mempengaruhi kritik Marx atas agama adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770—1831) dan Ludwig Feuerbach (1804—1872). Pada tahun 1841, Feuerbach menerbitkan suatu karya yang berjudul Das Wesen des Christentums (Hakikat Agama Kristiani). Sebenarnya, Feuerbach sendiri melontarkan kritiknya atas konsep agama Hegel. Bagi Hegel, Allah mengungkapkan diri-Nya dalam kesadaran manusia. Memang, manusia memiliki otonomi dan kebebasan pada dirinya sendiri, akan tetapi kemandirian itu menyiratkan sebuah ‘realitas’ di belakangnya. Dengan kata lain, agama Hegel adalah bahwa Allah yang diyakini sekian banyak manusia merupakan kerja Roh Semesta. Manusia, kemudian, dapat dilihat sebagai wayang yang memiliki kesadaran, pengertian, dan kemauan sendiri, sedangkan dalangnya adalah sang Roh Semesta itu.[2] Secara eksistensial, manusia itu ada dan bertindak dari dirinya sendiri. Namun, sebenarnya, pelaku sejarah adalah Roh Smesta itu sendiri.
Sementara itu, Feuerbach menilai bahwa Hegel malah memutarbalikkan kenyataan. Yang nyata adalah manusia, juga pikirannya. Allah? Bagi Feuerbach adalah sebuah keabstrakan, ciptaan pikiran manusia. Kerena pandangan Hegel yang menempatkan manusia sebagai ‘wayang’ dari Roh Semesta itu, oleh Feuerbach, agama Hegel adalah agama yang terselubung.[3] Padahal, manusia dapat memahami dirinya sendiri ketika ia sendiri mengobjektifkasikan dirinya. Karena itu, tidak ada ‘sesuatu’ yang lain di luar manusia. Feuerbach menilai bahwa agama lahir dari hakekat manusia itu sendiri, yaitu dari sifat egoismenya.[4] Artinya, keinginan manusia untuk mencapai kebahagiaan dilukiskan sebagai sesuatu yang nyata ada pada para dewa. Jadi, manusia sesungguhnya beragama bukan karena didasari atas iman akan Allah, tetapi hanya karena ia memiliki keinginan. Dengan kata lain, Feuerbach mau mengatakan bahwa agama hanyalah sebuah fantasi manusia untuk mencapai kebahagiaan, kesejahteraan, dan kedamaian dalam hidup.
Bagaimana Marx menanggapi kedua konsep ini? Sebagai seorang pemikir materialis[5], Marx tentu saja menolak pendekatan Hegel terhadap agama. Ia setuju dengan Feuerbach bahwa manusialah yang membuat agama, bukan agama yang membuat manusia.[6] Akan tetapi, Feuerbach belum mengulas lebih dalam perihal mengapa manusia sampai beragama. Agama ada dan bertumbuh oleh dan memalui masyarakat. Bagi Marx, hidup keagamaan merupakan buatan manusia. Manusia mendapati dirinya terasing, karena beragam pertanyaan atas penderitaan dan penindasan yang sulit terjawab, dan akhirnya teralienasi oleh pikirannya sendiri kepada agama. Agama atau, lebis jelasnya, cara hidup beragama adalah produk dari alienasinya sendiri. Dari pendekatan ini, kita sampai pada konsep Marx: Agama sebagai ‘Candu Masyarakat’.
3. Agama: Candu Masyarakat
Salah satu konsep penting dan terkenal dalam pemikiran Marx tentang agama adalah ‘Agama sebagai candu masyarakat’.[7] Agama adalah tanda bahwa manusia itu sebenarnya terasing (alienasi) dari tatanan hidup sosialnya. Dalam alam pikiran Marx, orang-orang yang beragama memiliki rasa takut dan cemas yang mendalam akan suatu jawaban yang belum atau, bahkan, tidak pasti tentang hakikatnya sebagai manusia. Agama dipandang sebagai suatu penderitaan yang lahir dari ungkapan protes terhadap penderitaan hidup. Marx menulis:
Religious distress is at the same time the expression of real distress and the protest against real distress. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people.
The abolition of religion as the illusory happiness of the people is required for their real happiness. The demand to give up the illusion about its condition is the demand to give up a condition, which needs illusions.[8]
Manusia kemudian berlari mencari apa yang dapat menjawab beberapa kebutuhannya yang paling eksistensial. Pada saat yang sama, agama yang sudah lama hadir itu menawarkan rupa-rupa gambaran atau realitas yang dapat menjamin keterpuasan manusia. Tentang kehidupan yang kekal misalnya. Dalam doktrin iman Kristiani, kehidupan abadi merupakan sebuah jaminan eskatologis yang sifatnya pasti bagi semua orang yang menjalankan imannya dengan takwa dan taat. Doktrin iman yang memang dalam sejarahnya ini telah teruji sepanjang sejarah itu dipandang cukup menjanjikan dan mampu mengisi ruang kosong manusia. Karena keterdesakan akan kebutuhan dasariah itu, manusia pun mau tidak mau masuk dalam ‘bangunan atas’ produk hierarki gerejawi.
Dalam situasi kesadaran seperti itu, kaum beragama menciptakan sebuah kesadaran palsu atau ilusi belaka (illusory fantasies)dalam masyarakat.[9] Komunitas beragama, bagi Marx, adalah kumpulan orang-orang yang menerima kondisi dunia secara tidak kritis, sehingga malahan mendukung apa yang sebenarnya sudah dibangun oleh tatanan agama yang dianutnya. Seperti dalam kapitalisme dan sejarah perjuangan kelas, agama telah menciptakan suatu batas kesadaran dengan ‘paksa’. Realitas yang ditandai dengan kelas-kelas dengan sendirinya dapat dipahami sebagai sebuah tatanan yang terdiri dari orang-orang kalah. Agama menjadi tempat pelarian, bukan karena panggilan (wahyu) Yang Ilahi.
Dengan perkataan lain, pemikiran Marx telah melahirkan arti agama yang ‘lain’. Konsentrasi Marx bertitik tolak dari latar belakangnya sebagai pemikir materialis. Agama dipahami sebagai institusi yang real dalam masyarakat dan sangat mempengaruhi kehidupan social dalam kelas-kelas social. Agama yang hadir sambil menjanjikan kebahagiaan di alam sesudah kematian (eternal life) membuat orang miskin dan tertindas semakin tertindas serta menerima nasib mereka daripada memberontak terhadapnya. Realitas seperti ini, bagi Marx, merupakan sejarah manusia itu sendiri: sejarah penindasan, sejarah perjuangan kelas. Marx yakin bahwa orang jatuh dalam kemiskinan dan penderitaan oleh karena penindasan “Kelas Atas, para pemilik modal” terhadap “Kelas Bawah, para buruh dan budak”. Agama pada titik ini dijadikan sebagai tempat perlindungan yang aman, sekaligus menguntungkan, bagi penguasa ekonomi (juga segelintir pejabat agama) untuk melanggengkan kekuasaan mereka: agama menjadi instrumen kekuasaan. Dengan kata lain, penderitaan itu sebenarnya disebabkan oleh struktur-struktur ekonomi masyarakat yang menindas, yang diciptakan oleh para kapitalis demi memperbesar modal mereka.
Jadi, agama sebagai ‘candu masyarakat’ harus dipahami sebagai hasil dari refleksi kritis Marx menanggapi kegagapan dan ketakutan orang sezamannya untuk berpikir secara rasional dan, lantas, memandang perjuangan untuk keluar dari penderitaan sebagai sebuah usaha yang sia-sia. Di sini, Marx tidak bertolak dari diskusi teologis dan tidak mempersoalkan pokok-pokok iman dalam agama, tetapi lebih bertolak dari diskusi real (yang nyata, ada) dalam masyarakat. Refleksi itu pun berujung pada kesimpulan bahwa memang dalam sejarah perjuangan kelas, agama hadir sebagai penengah: antara jawaban sebuah kerinduan manusia akan sesuatu yang transeden dengan suatu realitas sosial yang konkrit di sekitarnya.
4. Agama dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Sosial
Telah kita pahami bahwa Karl Marx meletakan seluruh pemikirannya di atas fundamen ekonomi (kapital). Ia adalah filsuf materialis. Baginya, manusia tidak dapat dimengerti dalam tataran yang abstrak. Manusia dan kehidupan manusia adalah apa yang real, ada, terjadi, dan nyata di sini dan saat ini. Sejarah kehidupan masyarakat sangat penting bagi Marx dan, pada masanya, perjuangan ekonomi atau perjuangan kelas adalah realitas. Marx sangat yakin bahwa pranata ekonomi mendasari semua struktur dalam masyarakat. Pranata-pranata sosial lain seperti kesenian, agama, politik, ilmu pengetahuan, hukum, dan sebagainya berada di superstruktur. Semua segi gerak dan aktivitas manusia ditentukan oleh seberapa kuat manusia itu bertahan dari tuntutan sosial dan seberapa mampu ia menguasai produksi serta seberapa banyak modal yang ia miliki. Kalau tidak, manusia akan kalah dalam persaingan itu dan teralienasi.
Dalam kehidupan sosial, Marx mencita-citakan sebuah tatanan masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang mengalami pencerahan, bebas, dan adil secara keseluruhan. Selama manusia masih hidup terkotak-kotak dalam kelas-kelas tertentu, cita-cita itu sulit atau bahkan tidak akan tercapai. Ia melontarkan kritik kepara filsuf, terutama kaum sosialis Perancis dan Jerman, bahwa diskusi filsafat harus sampai kepada praksis perubahan sosial.[10]
Agama adalah ‘candu masyarakat’! Agama yang hanya mampu menghukum pemeluknya adalah agama ciptaan kaum kapitalis untuk menindas orang-orang kecil dengan doktrin-doktrin kesalehan. Pada titik ini, Marx melihat bahwa hal tersebut hanya merupakan ciptaan masyarakat, ciptaan penguasa, untuk memperkuat status-quo dan melanggengkan kekuasaannya terhadap masyarakat kecil yang dipimpinnya. Dengan pandangan hidup semacam itu, orang tergantung pada ciptaannya sendiri. Manusia tidak lagi otonom. Manusia dalam agama hanyalah orang-orang yang takluk di bawah otoritas orang yang lebih berkuasa daripadanya. Oleh karena itu, menurut Marx, manusia harus berjuang sendiri untuk keluar dari kelas-kelas itu. Mereka harus bebas dan merdeka serta hidup dalam suatu masyarakat tanpa kelas. Kesadaran masyarakat semacam itu akan menghilangkan agama dengan sendirinya dan sama sekali tidak membutuhkannya lagi. [11]
5. Tanggapan
Pembacaan atas kritik Marx telah menelurkan paling kurang tiga tanggapan saya sebagai berikut. Pertama, upaya untuk membaca dan menangkap gagasan pokok kritik Marx atas agama harus memperhatikan konteks sosial zaman itu. Zaman di sekitar Marx adalah zaman penuh penindasan. Ada fakta penindasan oleh kaum Kelas Atas (pemilik modal) dengan kaum Kelas Bawah (budak, buruh). Kenyataan seperti ini merupakan akibat dari ketidakberdayaan Kelas Bawah untuk menemukan kehidupan yang setara dan bahagia sebagaimana dirasakan oleh kaum Kelas Atas. Dengan memahami konteks sosial di sekitar Marx, kita akan mampu menangkap gagasan dan akar kritik Marx terhadap agama. Bagi saya, kita harus memperhatikan dua sisi ini: di satu sisi, kerterasingan manusia (bagaimana sampai ia terasing) dari keutuhannya sebagai manusia dan di sisi yang lain agama (yang saat itu berstatus ‘Kelas Atas’) lebih bersifat sekularistik dan meterialistik.
Kedua, membaca dan memahami konsep ‘Agama sebagai Candu Masyarakat’ harus sampai pada pengertian: agama dalam arti apakah yang sebenarnya dimaksud oleh Marx? Kritik Marx terhadap agama bermaksud untuk menyingkirkan ilusi-ilusi yang mabuat manusia terus berusaha mencari rasa nyaman di sana dari situasi ketertindasan yang mereka alami. Kritik agama justru akan membuat mereka membuka mata terhadap kenyataan diri mereka, menghadapinya sehingga akan berusaha berhenti dari segala bentuk ketertindasannya. Tentang keterasingan, Marx melihat bahwa sebetulnya agama bukan menjadi dasar penyebab keterasingan manusia. Agama hanyalah gejala sekunder dari keterasingan manusia. Agama menjadi semacam pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri dari ketidakpastian hidup dan penderitaan. Manusia lalu hanya dapat merealisasikan diri secara semu yakni dalam khayalan agama karena struktur masyarakat real (nyata) tidak memberi ruang bagi manusia untuk merealisasikan dirinya dengan sungguh-sungguh. Oleh karenanya, saya sependapat dengan Marx bahwa penyebab keterasingan yang utama haruslah ditemukan dalam keadaan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kritik jangan berhenti pada agama. Kritik terhadap agama akan menjadi dangkal karena tidak mencari, mengkritisi, dan mengubah apa yang telah melahirkan dan menjadikan model agama sebagai salah satu bagian dari struktur sosial yang diproduksi.
Ketiga, sebagai seorang beragama dan hidup dalam tatanan sosial kemasyarakatan, kritik Marx terhadap agama masih sangat relevan untuk zaman modern seperti sekarang ini. Dalam hal ini, agama yang hendak kita kritik adalah agama sebagai suatu lembaga-institusional yang mempunyai norma dan aturan untuk mengikat dan mengatur prilaku hidup para pengikutnya. Memang dalam sejarahnya, proses rasionalisasi telah melahirkan cara pendekatan yang kritis terhadap penganlaman apa saja, termasuk pengalaman religius atau keagamaan.[12] Kerja rasio (akal budi) akan terus mempertanyakan doktrin-doktrin Kristiani yang memang berlandaskan dimensi ‘misteri’ atau ‘transenden’. Di sini saya menilai bahwa Marx hanya menilai agama pada zamannya saja. Padahal, paham-paham agama (khususnya Kristiani) tidak dapat begitu saja direduksi dalam satu pengalaman dan satu masa saja. Maklum bila masyarakat tanpa kelas (seperti nagara-negara komunis) tidak menjamin kebebasan dan kemerdekaan manusia dari fakta alienasi itu sendiri. Jika demikian, bagi saya, kritik kepada agama bukan berarti mereduksikan semua kebenaran dalam agama-agama, melainkan kritik yang lebih eksperimental yakni sejauhmana agama itu diikuti dan dihayati. Untuk zaman Marx, kritiknya tentu saja urgen untuk diaplikasikan. Untuk zaman sekarang, bagi saya, kritik Marx harus memepertimbangkan dimensi wahyu dan iman (kerinduan akan Allah) di samping bahwa agama itu sangat bersifat real, institusional, dan hierarkis.
6. Penutup
Dalam refleksi atas pemikiran Marx, agama menjadi semacam pintu masuk ke dalam kritik sosial yang lebih luas. Yang perlu disobek, bukan bunga yang menghiasi rantai, agama, melainkan rantai itu sendiri, keadaan buruk manusia yang membuatnya melarikan diri ke agama.[13] Maka, kritik Marx terhadap agama harus ditempatkan dalam ruang yang lebih luas yakni kritik terhadap masyarakat. Sumbangan Marx adalah bahwa manusia harus menyadari keadaanya sendiri dan karena itu terus berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari penderitaannya sendiri. Manusia jangan pesimis dan lari dari perjuangan. Agama bukanlah tempat pelarian karena bukan untuk itulah ia ada. Maka, bagi saya, kritik Marx atas agama harus dipahami dalam konteks, dalam arti mengapa dan apa dasar kritik itu, dan bagaimana kritik itu manjadi kritik atas kehidupan. Satu tujuan bersama yang tetap ada yakni bahwa kebahagiaan dan keadilan serta perdamaian harus dirasakan oleh semua manusia karena kesetaraan martabatnya.
Kepustakaan
Budi Hardiman, F., 2007, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietsche, Jakarta: Gramedia.
Eliade, Mircea (Ed), 1993, The Encyclopedia of Religion (vol.11), New York: Macmillan Publishing Company.
Hadiwijono, Harun, 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius.
Lukacs, Georg, 2010, Dialektika Marxis: Sejarah Dan Kesadaran Kelas, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Magnis-Suseno, F., 2003, Magnis, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme (cet. Ke-6), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama:.
Samosir, Leonardus, 2010, Agama Dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis Atas Tradisi Dalam Konteks, Jakarta: Obor.
Syukur Dister, Nico, 1982, Pengalaman Dan Motivasi Beragama: Pengatar Psikologi Agama, Jakarta: LEPPENAS.
[1] Harun Hadiwijono, 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 120.
[2] Magnis-Suseno, 2003, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, hlm. 67.
[3] Ibid.
[6] Karl Marx, 1842, Critique of Hegel’s Philosophy of Right. disadur dari situs www.internetencyclopediaofphiloshopy.com pada hari Jumat, 12 Mei 2011 pukul 20.30 WIB.
[7] Magnis-Suseno, Op. Cit. hlm. 73.
[8] Karl Marx, Op. Cit.
[9] Ibid.
[10] Budi Hardiman, 2007, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietsche, Jakarta: Gramedia, hlm. 236.
[11] Syukur Dister, 1982, Pengalaman Dan Motivasi Baragama, hlm. 98.
[12] Syukur Dister, Ibid,. hlm 20.
[13] Magnis-Suseno, Op. Cit., hlm. 74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar