ketika hujan berhenti, aroma makan malam tetangga merebak di luar jendela dan tipis-tipis menyusup ke kamarku.
Aku berdiri di ujung jendela. Kupejamkan mata, kutarik nafas dalam2...hmm...sayur asin, ditumis pake bawang putih, cabe merah, dan...sepertinya ditaburi separuh masako rasa sapi.
Kupalingkan muka, kutatap sebatang Filter di atas meja. Ingin rasanya makan, tetapi belum waktunya dan belum saatnya. Hari ini masih sore dan perutku masih full.
Kugapai cangkir kopi yang sudah mendingin di atas speaker tua. Dingin namun manis sekali. Kucecap sisanya di bibir gelas. Luwak.
Kemarin, sesaat setelah ujian, seorang sahabat menghampiriku. Ia menawarkan Sampoerna Mild. Aku menolaknya. Aku tak biasa, kataku. Padahal, aku adalah asbak alias apa saja ok. Namun, kutolak karena aku tak punya nafas lagi bak unutk bernafas saja. Satu jam di ruangan seminar 1 serasa seabad di Mars. Sejuk yang mengikis seluruh oksigen hingga hampa terasa, sesak di ujung waktu. "ok, bro. Ini ada 1000 perak. Kau kan Filter."
Sore ini, kulawan aroma makan malam tetangga dengan aroma Filterku. Kumandang adzan mengiringi isapan-isapan penuh makna. Aku duduk menatap poster Papa Franseco. Itu poster paling mantap di kamarku. Senyum mantan kardinal Boines Aires itu begitu menyejukan hati. Aku membayangkan kalau beliau menerima kedatanganku di Lateran nanti. Ah...aku malah melantur! Sementara, perlahan, asap dupa memenuhi kamarku.
Kutatap setiap lekukan asap, barangkali ada penampakan. Ternyata tidak. Mungkin aroma nikotin tidak menungkinkan hal itu. Barangkali..
Sesekali, kubiarkan asap itu keluar begitu saja dari mulut, seiring deru nafas, tanpa ada gaya akrobatik. Kulepaskan seluruh kepenatan yang menderaku sejak kemaren. Aku membiarkan semua berlalu seperti asap yang malu-malu meninggalkan kamarku. Tampaknya, mereka hanya menari2 menghiburku diujung fentilasi.
Sudah 1/2 batang kuisap. MAsih banyak beban di pikiran. Kulihat di atas meja, tak ada cadangan lagi. Kutatap bara merah diujung puntung. Membayangkan kegalauan yang terbakar perlahan, hingga habis selurunya, dan menyisakan abu yang tak berguna. Kubayangkan, bara itu menembus kepalaku bagian samping. Sedetik kemudian, darah2 yang mengadung virus kegalauan dan kegundahan yang berpotensi gila itu mengucur deras. Dan aku mati tenang, tanpa membawa beban hidup yang mesti dituntaskan saat nanti.
Ah,,1/4 lagi... Kupercepat isapan. Asapnya laksana dupa yang harum mewangi. Kulihat lampu begitu suram. Malam mulai tampak. Aku berikan nafas terakhir diujung jendela. Kutatap bulan yang cuma tampak separuh. Kepadamu bulan kutiup nafas berasap yang terakhir ini. Biar kau bawa dalam gelap malammu.
Aku lega. Kamar mandi sudah kosong, dan aku pun mandi.
Aku berdiri di ujung jendela. Kupejamkan mata, kutarik nafas dalam2...hmm...sayur asin, ditumis pake bawang putih, cabe merah, dan...sepertinya ditaburi separuh masako rasa sapi.
Kupalingkan muka, kutatap sebatang Filter di atas meja. Ingin rasanya makan, tetapi belum waktunya dan belum saatnya. Hari ini masih sore dan perutku masih full.
Kugapai cangkir kopi yang sudah mendingin di atas speaker tua. Dingin namun manis sekali. Kucecap sisanya di bibir gelas. Luwak.
Kemarin, sesaat setelah ujian, seorang sahabat menghampiriku. Ia menawarkan Sampoerna Mild. Aku menolaknya. Aku tak biasa, kataku. Padahal, aku adalah asbak alias apa saja ok. Namun, kutolak karena aku tak punya nafas lagi bak unutk bernafas saja. Satu jam di ruangan seminar 1 serasa seabad di Mars. Sejuk yang mengikis seluruh oksigen hingga hampa terasa, sesak di ujung waktu. "ok, bro. Ini ada 1000 perak. Kau kan Filter."
Sore ini, kulawan aroma makan malam tetangga dengan aroma Filterku. Kumandang adzan mengiringi isapan-isapan penuh makna. Aku duduk menatap poster Papa Franseco. Itu poster paling mantap di kamarku. Senyum mantan kardinal Boines Aires itu begitu menyejukan hati. Aku membayangkan kalau beliau menerima kedatanganku di Lateran nanti. Ah...aku malah melantur! Sementara, perlahan, asap dupa memenuhi kamarku.
Kutatap setiap lekukan asap, barangkali ada penampakan. Ternyata tidak. Mungkin aroma nikotin tidak menungkinkan hal itu. Barangkali..
Sesekali, kubiarkan asap itu keluar begitu saja dari mulut, seiring deru nafas, tanpa ada gaya akrobatik. Kulepaskan seluruh kepenatan yang menderaku sejak kemaren. Aku membiarkan semua berlalu seperti asap yang malu-malu meninggalkan kamarku. Tampaknya, mereka hanya menari2 menghiburku diujung fentilasi.
Sudah 1/2 batang kuisap. MAsih banyak beban di pikiran. Kulihat di atas meja, tak ada cadangan lagi. Kutatap bara merah diujung puntung. Membayangkan kegalauan yang terbakar perlahan, hingga habis selurunya, dan menyisakan abu yang tak berguna. Kubayangkan, bara itu menembus kepalaku bagian samping. Sedetik kemudian, darah2 yang mengadung virus kegalauan dan kegundahan yang berpotensi gila itu mengucur deras. Dan aku mati tenang, tanpa membawa beban hidup yang mesti dituntaskan saat nanti.
Ah,,1/4 lagi... Kupercepat isapan. Asapnya laksana dupa yang harum mewangi. Kulihat lampu begitu suram. Malam mulai tampak. Aku berikan nafas terakhir diujung jendela. Kutatap bulan yang cuma tampak separuh. Kepadamu bulan kutiup nafas berasap yang terakhir ini. Biar kau bawa dalam gelap malammu.
Aku lega. Kamar mandi sudah kosong, dan aku pun mandi.